Presiden Prabowo Subianto menyoroti ironi kelangkaan minyak goreng yang pernah terjadi di Indonesia. Dalam pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR, DPR, dan DPD di Gedung Nusantara, Jakarta, Jumat (15 Agustus 2025), Prabowo menyatakan keheranannya atas fenomena ini.
“Sungguh aneh negara dengan produksi kelapa sawit terbesar di dunia, pernah mengalami kelangkaan minyak goreng. Ini aneh sekali, tidak masuk di akal sehat,” ungkap Prabowo dalam pidatonya.
Posisi Indonesia sebagai Produsen Kelapa Sawit Terbesar Dunia
Indonesia memang memiliki posisi yang sangat dominan dalam industri kelapa sawit global. Berdasarkan data United States Department of Agriculture (USDA), Indonesia memproduksi sekitar 59 persen dari total produksi minyak sawit dunia atau sebanyak 45,5-47 juta ton per tahun.
Produksi minyak sawit Indonesia didukung oleh luas areal perkebunan yang mencapai 16,83 juta hektar pada tahun 2022. Provinsi Riau menjadi sentra produksi kelapa sawit terbesar di Indonesia dengan luas areal mencapai 2,74 juta hektare, diikuti Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, dan provinsi lainnya.
Kelangkaan Minyak Goreng 2022: Fenomena yang Tidak Masuk Akal
Kelangkaan minyak goreng yang dimaksud Prabowo terjadi pada rentang waktu November 2022 hingga Januari 2023. Fenomena ini khusus menyasar minyak goreng kemasan subsidi pemerintah bernama MinyaKita yang langka di pasaran selama berbulan-bulan.
Minyak goreng besutan pemerintah yang pertama kali diluncurkan pada tahun 2022 ini mendadak langka secara merata hampir di seluruh daerah. Bahkan jika ditemukan, MinyaKita dijual dengan harga jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan Rp 14.000 per liter.
Prabowo Perkenalkan Istilah “Serakahnomics”
Presiden Prabowo menuding kelangkaan ini sebagai hasil dari manipulasi yang dilakukan oknum tertentu. Ia bahkan memperkenalkan istilah baru “serakahnomics” untuk menggambarkan praktik ekonomi yang didasari keserakahan.
“Dan ternyata itu adalah permainan manipulasi yang tadi sudah disinggung oleh ketua DPR yang saya beri nama serakahnomics. Negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia, berminggu-minggu hampir beberapa bulan kelapa sawit langka,” tegas Prabowo.
Istilah serakahnomics diciptakan untuk menggambarkan fenomena distorsi ekonomi yang disebabkan oleh keserakahan sejumlah pihak yang menguasai sumber daya penting nasional demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Penjelasan GAPKI: Bukan Kelangkaan, Tapi Masalah Kebijakan
Menanggapi pernyataan Presiden Prabowo, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono memberikan klarifikasi. Menurutnya, sulitnya mendapatkan minyak goreng pada 2022 bukanlah karena kelangkaan stok, melainkan akibat kesalahan terkait kebijakan harga dan distribusinya.
“Bukan langka, tetapi waktu itu yang kami lihat ada miss di policy nya, waktu itu (2022) menjual minyak goreng dengan harga murah. Semua dihantam dengan harga murah. Sedangkan harga bahan bakunya lebih mahal dari harga jualnya,” kata Eddy.
Eddy menyebut harga minyak goreng di 2022 berkisar di angka Rp 14.000, sementara harga produksinya mencapai Rp 17.000. Kondisi ini diperparah dengan berkurangnya distribusi minyak goreng ke pasar tradisional, sedangkan ke supermarket justru meningkat.
Kebijakan Pemerintah dan Subsidi Minyak Goreng
Pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng. Kebijakan tersebut meliputi program subsidi minyak goreng kemasan dengan dana perkebunan kelapa sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan sederhana sebesar Rp 14.000 per liter dengan menyediakan 1,2 miliar liter selama 6 bulan. Kebutuhan biaya untuk menutup selisih harga sebesar Rp 3,6 triliun yang bersumber dari anggaran BPDPKS.
Kontribusi Ekonomi Kelapa Sawit Indonesia
Industri kelapa sawit memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2023, ekspor CPO Indonesia mencapai 26,13 juta ton dengan nilai sebesar USD 23,97 miliar, menyumbang 33,72% devisa negara.
Indonesia menguasai pangsa lebih dari 55% total minyak kelapa sawit yang diekspor di dunia. Negara tujuan ekspor utama meliputi India, China, Pakistan, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Sistem Ekonomi yang Menyimpang dari UUD 1945
Prabowo menilai kelangkaan minyak goreng ini mencerminkan adanya distorsi dalam sistem ekonomi nasional yang menyimpang dari amanat Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33.
“Keanehan-keanehan ini bisa terjadi karena ada distorsi dalam sistem ekonomi kita, adanya penyimpangan, bahwa sistem ekonomi yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, terutama di pasal 33 ayat 1, 2, dan 3, telah kita abaikan,” ujar Prabowo.
Presiden menegaskan bahwa cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak seperti minyak goreng harus dikuasai oleh negara sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.
Dampak terhadap Masyarakat
Kelangkaan minyak goreng telah berdampak secara merata kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama ibu rumah tangga yang menjadikan minyak goreng sebagai kebutuhan sehari-hari. Pedagang sembako di berbagai kota seperti Bandung, Solo, dan Makassar mengeluhkan kelangkaan yang terjadi sejak Desember 2022.
Para pedagang terpaksa mencari MinyaKita ke distributor besar setelah sejumlah agen menyatakan produk tersebut kosong. Harga yang seharusnya Rp 14.000 per liter naik menjadi Rp 16.000-17.000 per liter.
Proyeksi Produksi Kelapa Sawit Indonesia
Meskipun sempat mengalami masalah kelangkaan minyak goreng, industri kelapa sawit Indonesia terus menunjukkan pertumbuhan positif. USDA memproyeksikan produksi CPO Indonesia akan meningkat menjadi 47 juta ton pada tahun 2025/26, didukung peningkatan produktivitas menjadi 3,26 ton per hektare.
Peningkatan ini didorong oleh cuaca yang mendukung serta penerapan pemupukan yang memadai, dengan luas area panen yang stabil di angka 14,4 juta hektare. Ekspor minyak sawit Indonesia juga diperkirakan meningkat satu juta ton menjadi 24 juta ton.
Kelangkaan minyak goreng di negara produsen kelapa sawit terbesar dunia memang menjadi ironi yang patut menjadi pelajaran penting bagi Indonesia dalam mengelola sumber daya alamnya untuk kesejahteraan rakyat.