
Kejaksaan Agung (Kejagung) meluncurkan peta solusi hukum dan tata kelola sawit rakyat untuk melindungi petani kecil dari kriminalisasi setelah penyitaan lahan, menekankan pendekatan keadilan sosial yang berkelanjutan. Inisiatif ini disampaikan oleh Tenaga Ahli Kejagung, Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H., dalam acara BEDELAU 2025 di Pekanbaru pada 21 Oktober 2025, sebagai respons terhadap konflik lahan sawit yang sering menjerat petani rakyat. Dengan menggabungkan elemen hukum, kebijakan pemerintah, dan dukungan keuangan, solusi ini diharapkan mereformasi sektor sawit nasional agar lebih inklusif dan produktif.
Latar Belakang Masalah Penyitaan Lahan Sawit Rakyat
Sektor sawit rakyat menjadi tulang punggung ekonomi pedesaan di Indonesia, namun sering kali terhambat oleh penyitaan lahan akibat tuduhan ilegalitas atau konflik kawasan hutan. Banyak petani kecil yang telah menggarap lahan selama bertahun-tahun tiba-tiba menghadapi proses pidana, yang tidak hanya merampas mata pencaharian mereka tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi lokal. Kejagung mengidentifikasi bahwa perbedaan antara korporasi besar dan petani rakyat sering kali tidak dibedakan dalam penegakan hukum, sehingga menciptakan ketidakadilan yang sistemik. Peta solusi ini bertujuan untuk mengalihkan kasus-kasus semacam itu dari ranah pidana ke administratif atau perdata melalui restorative justice, memastikan hukum berfungsi untuk keadilan sosial.
Peta Solusi Hukum dari Kejagung untuk Petani Sawit
Prof. Adi Sulistiyono memaparkan rekomendasi komprehensif yang melibatkan berbagai lembaga negara untuk menyelesaikan isu sawit rakyat pasca penyitaan. Kejagung sendiri akan membedakan penanganan antara pelaku korporasi dan petani kecil, serta menyerahkan lahan sitaan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) guna program reforma agraria. Pendekatan ini tidak hanya melindungi petani dari sanksi berat, tetapi juga memastikan lahan tetap produktif dan dikembalikan ke masyarakat melalui mekanisme yang transparan. Selain itu, solusi hukum ini menekankan prinsip-prinsip dasar seperti One Map Policy untuk sinkronisasi data spasial, menghindari konflik lahan di masa depan.
Peran Lembaga Pemerintah dalam Reformasi Sawit Rakyat
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) direkomendasikan untuk menetapkan lahan sitaan sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan memberikan sertifikasi hak milik kepada petani yang telah menggarap lahan sebelum penetapan kawasan hutan. Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) diminta mereklasifikasi kawasan hutan melalui revisi peta, serta menerapkan skema perhutanan sosial untuk kebun sawit rakyat yang sudah lama dikelola masyarakat. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian diusulkan membentuk Satgas Reformasi Hukum dan Tata Kelola Sawit Rakyat, yang melibatkan KLHK, ATR/BPN, dan Kejagung, untuk menyusun kebijakan hilirisasi berbasis legalitas lahan. Pemerintah daerah juga didorong menyusun Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Sawit Rakyat serta menegakkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sesuai data One Map.
Dukungan Keuangan dan Pengelolaan Lahan untuk Keberlanjutan
Lembaga keuangan dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) memainkan peran krusial dalam mengelola kebun eks-sitaan melalui skema joint stewardship antara pemerintah dan petani. Inisiatif ini mencakup penyediaan pembiayaan hijau (green financing) untuk sawit legal rakyat, yang tidak hanya mendukung produktivitas tetapi juga memastikan praktik berkelanjutan. Kombinasi solusi hukum, kebijakan, dan dukungan finansial ini menjadi kunci keberhasilan reformasi sawit, di mana petani rakyat dapat berkontribusi lebih besar terhadap ekonomi nasional tanpa ancaman hukum yang tidak adil. Dengan demikian, inisiatif Kejagung ini berpotensi mengubah nasib jutaan petani sawit, menjadikan sektor ini lebih adil dan kompetitif di tingkat global.