Persoalan lahan sawit petani di kawasan hutan dapat terselesaikan asalkan ada komitmen kuat dari pemerintah. Caranya adalah menjadikan sawit sebagai tanaman perhutanan sosial.

“Bisa masuk program perhutanan sosial dengan ketentuan dibatasi waktu tertentu seperti satu daur tanam,” kata Dr.Sadino, Pengamat Hukum Kehutanan dari Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Kehutanan (BKH-2K) kepada sawitindonesia.com, Jumat, 8 November 2017.

Pada Kamis 7 November 2017, Menteri Amran Sulaiman mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kuningan, Jakarta Selatan, untuk membicarakan persoalan lahan sawit petani yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. “Ada plasma teridentifikasi di kawasan hutan produksi. Ini akan dicarikan solusi terbaik untuk petani sawit seluruh Indonesia,” ucap Amran.

Dikatakan Amran bahwa pemerintah sekarang sedang fokus kegiatan replanting tanam petani untuk peningkatan produksi sawit.”Selanjutnya, ada sawit di areal hutan produksi ini yang lagi dibahas dengan KPK, Kementerian ATR (Agraria dan Tata Ruang), Kehutanan,”, tambahnya.

Sadino mengatakan persoalan lahan sawit di hutan produksi menyebabkan tidak bisa lahir hak atas tanah bagi petani. Akibatnya, penjualan buah sawit akan kesulitan karena pabrik atau perusahaan perkebunan dilarang membeli Tandan Buah Segar (TBS) sawit dari lahan petani yang terindikasi masuk dalam kawasan hutan.

Untuk itu, katanya, perlu dilakukan perubahan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 tahun 2017 Tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan khususnya pasal 7 dan pasal 11 ayat (1) huruf c.

Dalam pasal 7 disebutkan Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak di atasnya sebelum bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan.

Sementara itu, dalam pasal 11 ayat 1(c) disebutkan bahwa dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dan telah dikuasai lebih dari 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan.

“Kalau mau diselesaikan melalui Perpres 88 tahun 2017 dengan dilakukan beberapa perubahan. Misalnya penguasaan 5 tahun. Kalau sekarang 20 tahun akan sulit bagi petani dan sulit juga bagi pemerintah,” kata Sadino.

Langkah lainnya adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merevisi Peraturan Menteri LHK No 39/2017 tentang Perhutanan Sosial. Sebab dalam berbagai forum, pejabat Kementerian LHK melarang kelapa sawit masuk kategori perhutanan sosial.

“Ya tinggal direvisi permen (perhutanan sosial). Revisi satu jam aja gak sampai udah kelar. Katanya pemerintah mau menyelesaikan (lahan petani),” tambah Sadino.

Presiden Joko Widodo mengarahkan supaya penyelesaiak persoalan lahan petani di kawasan hutan supaya diarahkan untuk mengurus sertifikat lahan perkebunannya.

“Nanti, akan disertifikatkan. Asal itu (lahan petani) adalah hutan produksi atau hutan yang bisa dikonversi. Nanti, Menteri BPN yang menyelesaikan,”kata Presiden Joko Widodo setelah peresmian kegiatan replanting perdana, pada akhir November 2017 di Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

Menurut Presiden Jokowi, rakyat harus mempunyai sertifikat kepemilikan lahan supaya statusnya jelas. “Rakyat harus pegang sertifikat supaya jelas,”ujarnya.

 

Sumber: Sawitindonesia.com