|JAKARTA| Pola transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit merupakan program pemerintah yang sukses pada 1980-an. Kedua program ini mampu membuka keterisolasian daerah, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk sehingga berdampak pada pemekaran wilayah.
“Kalau dilihat historisnya, 4 dari 5 pemekaran di tingkat kabupaten di Indonesia merupakan wilayah transmigrasi yang penduduknya menggantungkan hidup dari perkebunan kelapa sawit,” kata Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang pada peluncuran dan diskusi buku bertema “Privatisasi Transmigrasi dan Kemitraan Plasma Menopang Industri Sawit”, di Jakarta, Kamis (11/1).
Hanya saja, kata Togar, karena berbagai keterbatasan program transmigrasi serta perkebunan kelapa sawit hanya mengikuti kondisi saat itu sehingga ada regulasi tertinggal dengan kondisi lapangan. Akibatnya, sejumlah pihak menilai terjadi diskriminasi.
Togar mencontohkan, di tahun 1980-an, saat pengembangan awal, perusahaan sawit selalu harus mampu menyeimbangkan antara luasan areal, kemampuan produksi TBS serta kapasitas pabrik.
Dia mengungkapkan, perusahaan sawit berinvestasi berdasarkan kemampuan mereka. Jika memiliki 5.000 ha lahan maka pasokan yang dibutuhkan adalah 30 ton TBS perjam. Saat itu, perusahaan hanya menggantungkan pasokan dari petani plasma karena keterbatasan kapasitas pengolahan pabrik dan petani mandiri belum berkembang.
Menurutnya, kalaupun akhirnya perusahaan sawit menerima pasokan petani mandiri, harganya pasti berbeda. Hal itu karena harga plasma dihitung berdasarkan harga rata-rata 2-3 bulan lala Sementara itu, harga mandiri dihitung berdasarkan harga saat ini.
Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (Maksi) Darmono Taniwiryono mengingatkan, banyak pihak yang tidak mengenal produk sawit tetapi berbicara negatif tentang sawit. Akibatnya, opini negatif komoditas itu telah merasuk di pemikiran generasi muda Indonesia sejak dari rumah hingga pendidikan.
Menurut Darmono, sudah waktunya pemerintah dan masyarakat mendorong peningkatan promosi positif terhadap minyak sawit. Apalagi, sumbangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) terhadap devisa negara mencapai rata-rata lebih dari USS 15 miliar setiap tahun.
Sumber: Suara Pembaruan