Berlin: Uni Eropa sedang gencar melarang penggunaan minyak sawit milik Indonesia. Rupanya, tanaman ini dulunya berasal dari Benua Biru yang dibawa seabad lalu oleh para penjajah.
Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia dan anggota Advisory Board Andgreen Foundation, pada Palm Oil Seminar 2018: One Century of Indonesian Palm Oil, Bayu Krisnamurti menyampaikan pada 1848, ilmuwan Belanda Dr. D. T. Pryce membawa benih sawit dan menanamnya di Kebun Raya Bogor.
Komersialisasi minyak sawit di Indonesia pertama kali dilakukan perusahaan Belgia, Socfin, pada 1911. Socfin membuka perkebunan kelapa sawit di Pulau Rae Firja, Asahan, dan Sungai Liput, Aceh. Pabrik minyak sawit lalu didirikan di Sungai Liput pada 1918. Pada tahun yang sama, satu perusahaan Jerman juga membuka perkebunan kelapa sawit di Tanah Itam Ulu, Sumatera Utara.
“Orang Eropa yang pertama mewariskan praktik budidaya dan komersialisasi minyak sawit di tanah Indonesia, lalu kenapa sekarang minyak sawit dimusuhi di Eropa? Apakah karena minyak nabati Eropa kalah bersaing oleh minyak sawit?” ungkap Bayu, yang juga merupakan dosen di Institut Pertanian Bogor.
Mantan Wakil Menteri Pertanian dan Wakil Menteri Perdagangan ini menjelaskan dialog mengenai baik atau buruknya minyak sawit harus dilihat dari konteks rasio perbandingan luas tanah yang dibutuhkan untuk menunjang kehidupan populasi manusia.
“Jumlah populasi dunia saat ini adalah 7,3 milyar jiwa dan pada tahun 2050 diprediksi akan meningkat menjadi 9,7 milyar. Peningkatan populasi ini tentu akan berdampak pada penyempitan lahan. Saat ini satu hektar lahan rata-rata dihuni oleh 4,5 jiwa. Dengan peningkatan populasi pada tahun 2050 akan terjadi pula peningkatan penghuni sekitar 6,5 jiwa per hektar lahan,” ungkapnya, dilansir dari pernyataan tertulis KBRI Berlin, Selasa 25 September 2018.
Dia menambahkan, kebutuhan makanan dunia akan mengalami peningkatan. Pada 2017, angka kebutuhan makanan dunia sekitar 4,5 juta ton.
Bayu memprediksi angka ini akan melonjak menjadi 9 juta ton pada 2050. Rasio luas tanah dan makanan manusia tadi akan menciut dari 0,22 hektar per kapita menjadi 0,15 hektar per kapita pada 2050.
“Untuk itu, kita memerlukan komoditas pangan yang land-efficient,” imbuh dia.
Minyak sawit merupakan komoditas pangan dengan produktivitas tinggi tanpa memerlukan lahan yang luas. Dari paparan Bayu, untuk memproduksi 1 ton minyak sawit hanya memerlukan 0,26 hektar lahan.
Hal ini tentu berbeda dibanding minyak canola (rapeseed) yang memerlukan 1,25 hektar, atau minyak bunga matahari (sunflower oil) memerlukan 1,43 hektar. Bahkan, minyak kedelai (soybean oil) memerlukan 2 hektar lahan per tonnya.
Hadir pula dalam seminar tersebur, Daniel May, Project Director dari Masyarakat Kerjasama Internasional Jerman. Daniel menuturkan persepsi negatif yang berkembang di masyarakat Eropa mengenai minyak sawit dipicu dari masalah kebakaran hutan, pengeringan lahan gambut, dan konservasi keanekaragaman hayati.
“Minyak sawit merupakan komoditas serba guna. Tanpa disadari, masyarakat Eropa mengonsumsi minyak sawit yang menjadi salah satu bahan pembuat produk cat, ban kendaraan, lilin, cairan pembersih, bahkan kosmetika,” Daniel.
Menurut dia, tantangannya saat ini adalah bagaimana mengubah persepsi tersebut. Daniel mengatakan salah satujawabannya dengan meningkatkan sistem sertifikasi minyak sawit sehingga 100 persen produk minyak sawit yang masuk ke pasar Eropa sudah tersertifikasi.
Sebenarnya, upaya tersebut sudah dilakukan Indonesia. Indonesia telah membentuk mekanisme wajib Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai pelengkap Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Supply Chain Certification (SCC) yang merupakan sistem sertifikasi internasional.
Minyak sawit satu-satunya komoditas minyak nabati yang diwajibkan mendapatkan sertifikasi untuk dapat masuk ke pasar Eropa, tidak seperti komoditas minyak nabati lainnya yang dapat dijual bebas tanpa sertifikasi.
Uni Eropa telah melancarkan serangan yang melarang penggunaan minyak sawit Indonesia dan Malaysia. Mereka menggunakan kampanye hitam, dan mengatakan akibat sawit, lingkungan di Indonesia rusak.
Menurut Uni Eropa, kebakaran hutan di Indonesia dipicu penanaman kelapa sawit. Hal ini tentu dibantah Indonesia, pasalnya kelapa sawit membantu warga keluar dari garis kemiskinan.
Sumber: Metrotvnews.com