JAKARTA- Kewajiban penggunaan biodiesel 20 (B20) telah menekan impor solar hingga 4.000 kiloliter (kl) per hari. Penurunan realisasi impor solar tersebut tercatat terjadi sejak 1 Agustus hingga 7 November 2018 ketika implementasi penggunaan B20 ini juga diwajibkan untuk non-PSO (public service obligation) atau pihak swasta.

“Impor (solar) harian turun 4.000 kiloliter dibandingkan Januari-Agustus,” kata Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana usai mengikuti rapat koordinasi membahas perkembangan B20 di Jakarta, Jumat (9/11).

Ia memastikan pemerintah terus memantau implementasi B20 yang saat ini sudah mulai digencarkan ke berbagai sektor industri maupun transportasi. Hingga sekarang, penggunaan biodiesel untuk PSO sudah mencapai 80%, namun implementasi untuk non-PSO belum tercatat secara resmi.

Sebelumnya, pemerintah terus menggencarkan penggunaan energi biodiesel yang berasal dari minyak sawit untuk menekan impor bahan bakar minyak, terutama solar. Selama ini, impor bahan bakar minyak telah menjadi salah satu penyumbang utama terjadinya defisit neraca transaksi berjalan.

Pemerintah ingin menekan defisit neraca transaksi berjalan karena bisa menjadi salah satu kunci untuk menjaga stabilisasi nilai tukar rupiah dari tekanan global.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menegaskan, tidak ada pengecualian dalam kewajiban penggunaan 20% minyak sawit dalam solar atau Biodiesel 20 (B20) untuk siapapun, termasuk bagi swasta.

“Kami sudah bicarakan itu dengan Menhub, dengan pengusaha, tidak ada pengecualian kecuali beberapa yang sudah kami putuskan seperti persenjataan TNI dan beberapa pembangkit listrik di PLN,” ujar Darmin usai memimpin rapat koordinasi soal monitoring implementasi kebijakan B20 di Kantor Menko Perekonomian, Jakarta, Jumat (9/11).

Sebelumnya, Asosiasi Pemilik Kapal Nasional Indonesia (INSA) meminta penundaan kewajiban penggunaan B20 untuk kapal dengan alasan tidak cocok untuk mesin kapal.

INSA menyampaikan permohonan penundaan tersebut dalam surat yang ditujukan kepada empat menteri yaitu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Perhubungan, dan Menteri Perindustrian.

“Kalau angkutan segede papun, kapal atau truk tidak dikecualikan. Kok ujug-ujug swasta mau minta pengecualian,” kata Darmin seperti dikutip Antara.

Selain INSA, Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) juga mengajukan penundaan pemberlakuan B20 agar bisa dilakukan penyesuaian terlebih dahulu.

Lebih Boros

Aptrindo menilai, penggunaan B20 lebih boros 2,3% sehingga harus lebih sering dilakukan perawatan berkala. Untuk truk-truk tua, B20 juga berpotensi merusak mesin, karena kualitas campuran yang masih dipertanyakan.

Mulai 1 September 2018, pemerintah memberlakukan penggunaan B20 melalui Peraturan Presiden Peraturan Presiden (Perpres) No 66 tahun 2018 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Dengan beleid tersebut, seluruh kendaraan bermesin diesel di Indonesia wajib menggunakan B20 setelah sebelumnya hanya diwajibkan kepada kendaraan yang mendapatkan subsidi atau PSO.

Kewajiban penggunaan B20 bertujuan menjembatani penghematan devisa, selain mengandalkan sektor pariwisata dengan menggenjot kunjungan wisatawan mancanegara, serta penerapan penyederhaan perizinan lewat OSS {online single submisson) untuk kemudahan berinvestasi.

Untuk sosialisasi perluasan kewajiban penggunaan B20 sendiri, pemerintah mengklaim sudah melakukannya sejak 2,5 tahun yang lalu.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia