Kementerian Pertanian berencana membentuk Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) bagi 7 komoditas unggulan perkebunan selain kelapa sawit dalam 5 tahun mendatang, demi mendorong kinerja produksi sektor tersebut.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang mengatakan setidaknya ada tujuh komoditas yang akan dibuatkan BPDP-nya. Adapun ketujuh komoditas tersebut adalah lada, pala, kopi, kakao, kelapa, karet, dan tebu.

“Semua ditargetkan dalam 5 tahun depan [sudah terbentuk BPDP-nya] untuk tujuh komoditas unggulan tersebut,” katanya, pada Jumat (9/11).

Menurutnya sejauh ini usulan dari pemerintah itu sudah disosialisasikan kepada pelaku usaha yang bergerak di sektor perkebunan melalui forum diskusi.

Meski begitu, dia mengakui para pelaku usaha masih skeptis dengan program jangka menengah pemerintah karena ragu dengan manfaatnya.

Padahal, lanjut Bambang, kalau dana dari tujuh komoditas unggulan itu bisa dihimpun dan dikembalikan kepada petani maka dijamin bisa untuk mengawal ekonomi perkebunan. Dana yang terhimpun dapat digunakan untuk keperluan seperti peremajaan lahan perkebunan.

“Setidaknya akan ada dana yang bisa dihimpun sebesar Rp30 triliun- Rp40 triliun tanpa membutuhkan alokasi dari APBN.”

Bambang mengambil ilustrasi dari skema perkebunan tembakau, dimana dari pungutan cukai sebesar 2% pada industri rokok, ada dana yang dihimpun sebesar Rp2,9 triliun. Ditjenbun, kata Bambang, hanya butuh 1 % saja untuk mendorong aktivitas perkebunan.

KAKAO DAN KARET

Selain itu, penghimpunan dana juga diyakini bisa membangkitkan lagi produksi kakao dan karet dalam negeri yang saat ini merosot setiap tahunnya.

Bambang mengatakan BPDP untuk kakao penting karena mayoritas kebun dikelola oleh petani rakyat.

“Untuk lahan kakao sekarang ada sekitar 1,5 juta hektare yang baru di-gernas-kan [Gerakan Nasional] baru sekitar 26%. Itu pun [untung] segera di-gernas-kan kalau tidak semua bisa diganti kelapa sawit.”

Pemerintah, lanjutnya, sudah berupaya untuk membantu dengan menyalurkan benih untuk peremajaan lahan kakao seluas 18.000 hektare pada tahun ini supaya produktivitas meningkat.

Namun lagi-lagi, lanjutnya, sumber dana pemerintah itu terbatas. Dalam empat tahun terakhir saja pengembangan lahan kakao baru mencapai 315.000 hektare.

“Kalau dana dihimpun dikembalikan pada petani kakao keseimbangan lebih baik Perbaikan on farm itu penting apalagi ini petani rakyat,” katanya.

Bambang mengatakan industri memang sering berteriak kekurangan pasokan bahan baku. Oleh sebab itu dia mengharapkan komitmen dari pelaku untuk memperbaikinya. Pemerintah, kata Bambang, sudah berupaya memperbaiki produksi dengan berbagai ke-terbatasannya.

Sementara itu, dari komoditas karet, pemerintah akan mendorong supaya para petani mau meremajakan pohon yang sudah tua selagi harga karet internasional sedang jatuh.

“Saat ini harga sedang rendah karena situasi global. Jadi ini adalah waktu yang tepat bagi replanting pohon karet,” katanya.

Sayangnya, menurut Bambang, petani karet enggan meremajakan kebunnya karena harga sedang jatuh sehingga tidak ada dana untuk menutupi biaya yang diperlukan. Dengan demikian, perlu ada semacam offtaker untuk mendukung peremajaan itu.

Tahun ini kami ada peremajaan 6.000 hektare. Tahun depan juga sekitar 6.000 hektare Kami juga perlu dukungan dari semua pihak,” pungkasnya.

Sebelumnya, Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) mendukung rencana dibentuknya BPDP untuk komoditas kakao dengan catatan pajak ekspor kakao tidak ditetapkan mencapai 15% dan dilakukan penghapusan PPN untuk biji kakao.

Itu tidak masalah [pembentukan BPDP]. Cuma, yang perlu digaris bawahi, pajak ekspor kakaonya jangan 15%,” kata Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) Arief Zamroni.

Di sisi lain, Arief meminta agar pemerintah mengenakan pajak ekspor terhadap produk setengah jadi hasil olahan kakao seperti cocoa butter, cocoa powder, dan pasta yang menurutnya saat ini hanya dikenakan pajak industri.

Kedua bea keluar yang dikenakan atas dua jenis produk yakni untuk biji kakao dan produk setengah jadi, inilah yang diharapkan menjadi sumber dana BPDP dan bisa dikembalikan kepada para petani kakao rakyat demi perbaikan kualitas dan volume produksi kakao dalam negeri.

 

Sumber: Bisnis Indonesia