Industri biofuel meminta pemerintah untuk mempercepat penerapan biofuel 30% dalam bahan bakar diesel (Biodiesel 30/B30) di tahun depan.
Hal ini dimaksudkan untuk memacu konsumsi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di dalam negeri yang pada akhirnya akan mengurangi suplai ekspor dan memperbaiki harga internasional yang kini terpuruk di level sekitar US$ 500 per ton.
“Jadi kita perkuat pasar dalam negeri. Kalau kami maunya B30 di 1 April 2019, dari rencana awal di Januari 2020. Ini akan coba dikaji [pemerintah]. Kami berharap lebih cepat lebih baik, sehingga urusan logistik bisa direncanakan mulai sekarang,” ujar Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) MP Tumanggor di kantor Kemenko Perekonomian, pekan lalu.
Berbicara dalam program Morning Bell CNBC Indonesia TV, Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) bidang Perdagangan dan Keberlanjutan, Togar Sitanggang bahkan mengungkapkan perlunya produksi CPO minmal 60 juta ton per tahun apabila Indonesia ingin menerapkan B100 atau green diesel dalam waktu dekat.
Sebagai informasi, produksi CPO RI saat ini baru mencapai 42 juta ton dari total luas lahan sekitar 14-15 juta hektar. Dengan demikian, perlu peningkatan produktivitas lahan sawit yang saat ini berkisar 3 ton/hektar menjadi setidaknya 4 ton/hektar dalam 3-5 tahun ke depan.
“Sekarang [volume produksi] 42 juta ton. Ideal atau tidak, tergantung kita melihatnya sebagai apa. Kalau kita melihat sawit sebagai makanan mungkin sudah cukup, tapi kalau sawit sebagai energi tidak cukup. Bisa dibayangkan, kalau kita mau menerapkan B100 maka ini akan kurang banyak. Kita akan perlu 60-80 juta ton,” ujar Togar, Senin (19/11/2018).
Lantas, apakah peningkatan produktivitas bisa dilakukan di tengah moratorium izin pembukaan lahan sawit baru saat ini?
Togar optimis hal itu masih mungkin dilakukan, khususnya di sektor perkebunan rakyat apabila program replanting yang saat ini dilakukan pemerintah dapat berjalan optimal.
“Ada spare [kekurangan produksi] 15 juta ton untuk di-improve saat ini, kalau dalam 3-5 tahun mendatang produktivitasnya bisa ditingkatkan maka belum perlu buka lahan baru,” jelasnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan pihaknya bersama Pertamina sedang mempersiapkan uji coba produksi green diesel di kilang Dumai pada Februari-Maret 2019 mendatang.
“Kita akan menggunakan 100% teknologi dan katalis dalam negeri untuk memproduksi itu, bekerja sama juga dengan ITB. Untuk green diesel akan dicoba di kilang Dumai pada Februari-Maret 2019. Diharapkan 2020 bisa operasional,” ujar Sahat kepada CNBC Indonesia di kantornya, pekan lalu.
Sumber: Cnbcindonesia.com