Produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Sumatera Selatan (Sumsel) diprediksi lebih dari 4 juta ton pada 2019 karena banyaknya petani yang menanam sawit secara swadaya. Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Sumsel Harry Hartanto di Palembang, Senin (14/1), mengatakan bahwa kondisi ini sangat positif karena saat ini mayoritas penduduk perkebunan sawit sedang replanting (peremajaan). “Biasanya setelah replanting bisa terjadi peningkatan produktivitas lahan setelah 3 tahun masa peremajaan,” kata dia.
Dia menambahkan, sudah 70% dari produksi merupakan produk turunan atau hilir bukan lagi minyak sawit mentah. Tinggal 20-30% saja itu CPO, sisanya jadi produk turunan termasuk biodiesel, bahan kosmetik dan lainnya, ujar dia seperti dilansir Antara.
Sementara itu berdasarkan catatan Dinas Perkebunan Sumsel, harga rata-rata CPO di provinsi itu periode 8-17 Januari 2019 mencapai Rp 6.040 per kilogram (kg), sementara untuk harga rata-rata inti sawait senilai Rp 4.333,99 per kg. Untuk harga tandan buah segar (TBS) yang dibeli dari petani untuk umur 10 tahun sampai 20 tahun dipatok senilai Rp 1.287,92 per kg.
Sementara itu, produktivitas perkebunan sawit milik masyarakat di Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya, Provinsi Aceh, terus menurun seiring jatuhnya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani. Seorang petani sawit Aceh Barat, Ibunu Sadan (56) di Meulaboh mengatakan, kebun dimiliknya satu kali panen bisa berproduksi 1,50 ton per hektare (ha) per 15 hari sekali panen, akan tetapi saat ini hanya dapat 400-500 kg.
“Produksi buah sawit sangat tergantung pada pupuk, kalau diberikan pupuk secara rutin dua bulan satu kali atau empat bulan sekali, maka hasilnya bisa keluar 1,50 ton per ha. Tapi saya selama tahun 2018 harga TBS jatuh, tidak pernah beri pupuk lagi,” katanya.
Saat ini, harga tampung TBS petani bertahan Rp 750 per kg dan sudah berlangsung sepanjang 2018 sampai dengan Januari 2019, kondisi ini berdampak pada pendapatan petani sehingga mereka tidak mampu membeli pupuk untuk tanaman. Ibnu Sadan, menyampaikan, dirinya saat ini memiliki lahan perkebunan sawit seluas 30 ha di Gampong/ Desa Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya dan semua tanamanya tersebut dalam umur produktif.
Selama 2018 lalu, produksi sawitnya tidak memuaskan, karena hasil yang dipetik sudah sangat berkurang disebabkan tanaman sawitnya sudah tidak terawat, pasalnya petani yang hanya bermodal sendiri sudah tidak mampu membeli pupuk sendiri. “Pada 2017 harga sawit pernah kami jual sampai Rp 1.500 per kg, tapi sejak 2018 sampai saat ini hanya Rp 750 per kg, bahkan ada sampai Rp 600 per kg. Dampaknya saya otomatis mengurangi biaya semua beban pekerjaan,” katanya.
Lebih lanjut disampaikan, meski pun harga TBS sudah turun lama, akan tetapi harga pupuk yang dibeli di pasar tidak sedikit pun turun, inilah yang membuat petani merasa sangat tertekan dalam berusaha sektor pertanian itu. Rata-rata pendapatan dari setiap panen TBS-nya paling didapatkan Rp 200-300 per kg, sebab harus mengeluarkan biaya panen kepada tukang dodos sawit seharga Rp 200 per kg, belum lagi biaya pengangkutan.
Sementara untuk pembelian pupuk rata-rata Rp 300 ribu per zak isi 50 kg, sehingga setelah diperhitungkan dengan biaya pekerjaan dengan hasil perkebunan sudah tidak seimbang, malah merugi apabila perawatan berkala tetap dilakukan. “Panen tetap berjalan, kasian juga kalau tidak dipanen bisa membusuk dan rontok sendiri. Kalau perusahaan mereka punya modal besar, sementara saya petani biasa modalnya terbatas, modal tergantung pada hasil kebun,” keluhnya.
Sumber: Investor Daily Indonesia