Potensi kenaikan permintaan dari India dan kebutuhan biodiesel diprediksi bisa mengerek harga. Namun, masih ada tantangan kelebihan pasokan. 

Pasar minyak sawit alias crude palm oil (CPO) kembali digoyang sentimen tak sedap. Per 1 Februari lalu, Uni Eropa mendeklarasikan aturan teknis terkait renewable energy directive (RED) II. Ini menunjukkan kesiapan mengimplementasikan penggunaan energi ramah lingkungan. Salah satu yang akan dihindari penggunaannya adalah CPO, sebab komoditas ini dinilai berisiko tinggi. Mulai 2020 hingga 2030 mendatang, penggunaan CPO akan dihapus bertahap. 

Kendati begitu, ini bukanlah isu baru bagi produsen minyak sawit. Menurut Yudha Gautama, analis Danareksa Sekuritas, pasar sudah paham bahwa Eropa tidak akan menambah impor CPO. “Bahkan, sudah priced in di pasar,” kata dia. 

Lagipula, lanjut dia, waktu 10 tahun masih panjang, sehingga banyak hal yang bisa terjadi. Produsen CPO bisa saja melobi dan membawa persoalan ini ke World Trade Organization (WTO). 

Toh, saat ini permintaan terbesar masih disetir oleh India. Apalagi, permintaan dari negara ini berpeluang tumbuh. Sebab, per Januari lalu, pemerintah India menurunkan pajak impor CPO dari kawasan ASEAN dari semula 44% menjadi 40%. 

Kenaikan permintaan dari India tentu bisa jadi katalis positif. Sebab, India merupakan importir CPO terbesar di dunia. Penjualan ke negara itu menyumbang 21% dari total ekspor CPO Indonesia dan 15% dari total ekspor Malaysia. 

Harapan lebih besar datang dari domestik, yaitu untuk kebutuhan program B20. Target penyaluran biodiesel tahun ini dinaikkan menjadi 6,2 juta kilo liter dari tahun lalu 4,04 juta kl. 

Sumber: Tabloid Kontan