Pemerintah Indonesia bersama Malaysia dan Kolombia telah menyelesaikan kunjungan kerja bersama ke Brussels, Belgia, yang digelar pada 8-9 April 2019. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, menyatakan, setelah melewati perdebatan yang cukup keras, komisi Uni Eropa menawarkan membentuk forum bersama untuk membahas keberlanjutan status sawit pada 2021 mendatang.
Pada dua hari kunjungan diplomasi tersebut, delegasi Indonesia melakukan pertemuan bersama Wakil Presiden Parlemen Uni Eropa Heidi Hautala serta anggota Komisi Eropa, Dewan Eropa, dan para pelaku bisnis di bidang biodiesel.
Darmin menjelaskan, penawaran Eropa tersebut disambut oleh Indonesia sebagai salah satu produsen sawit terbesar di dunia. Tapi, pihaknya tidak dapat menerima jika forum bersama yang ditawarkan tidak memberikan dampak positif bagi Indonesia. Sebab, melihat pengalaman sebelumnya, penawaran semacam itu tak berujung pada kejelasan.
Menurut dia, forum bersama itu perlu diwujudkan secara konkret serta dapat dijadikan landasan kebijakan sawit pada 2021. Pada tahun tersebut, sesuai isi dari kebijakan Petunjuk Energi Terbarukan (RED) II, Uni Eropa membuka kesempatan untuk melakukan peninjauan ulang kebijakan. Sekaligus, kriteria dalam menetapkan kategori sawit apakah memiliki risiko tinggi atau rendah terhadap lingkungan.
“Yang bisa berubah pada 2021 bukan regulasinya (RED II), tapi apakah bahan bakar nabati berbasissawitini memiliki kategori high risk atau low risk. Ini bukan harapan kita, tapi penawaran dari Eropa,” kata Darmin dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (12/4).
Mengutip isi dari kebijakan RED II, bahan bakar berbasis sawit asal Indonesia dinilai berisiko tinggi. Pada 2020 sampai 2023 penghitungan bahan bakar nabati berisiko tinggi dibatasi maksimal sebesar konsumsi pada 2019. Kemudian, mulai 2024, penggunaan komoditas berisiko tinggi diturunkan secara bertahap sampai nol persen pada 2030. Tapi, jika dinyatakan berisiko rendah, konsumsi minyak sawit pada 2020 dibatasi maksimum tujuh persen dari total konsumsi bahan bakar nabati.
Darmin mengatakan, Indonesia akan tetap berupaya agar ekspor sawit ke kawasan Eropa dapat terus dipertahankan. Ia mengaku, telah menyatakan dengan tegas di hadapan Komisi Uni Eropa, kebijakan RED II bersifat diskriminatif.
Dia menyampaikan, produktivitas kelapasawit10 kali lipat lebih tinggi ketimbang komoditas penghasil minyak nabati lain di Eropa saat ini seperti bunga matahari, rapeseed, dan kedelai. Terdapat jarak yang besar antara pemahaman terhadap produksawitdan kebijakan pengembangannya. Kita sampaikan ini adalah tindakan diskriminatif, double standard, dan proteksionis,” kata Darmin.
Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian Rizal Affandi mengatakan, berdasarkan pertemuan dengan para pebisnis di sektor minyak nabati diketahui belum ada komoditas yang lebih efisien dari sawit. Dengan permintaan minyak nabati yang terus tumbuh, dia mengkhawatirkan justru akan terjadi pembukaan lahan baru yang masif untuk komoditas penghasil minyak nabati lainnya.
Sumber: Republika