Wakil Presiden Jusuf Kalla mengangkat isu diskriminasi kelapa sawit Indonesia oleh sejumlah negara, terutama di Eropa, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kedua Belt and Road Forum (BRF) II di Beijing, Sabtu 27 April 2019.
“Indonesia sebagai negara yang sekitar 16 juta warganya terlibat dalam perkebunan dan industri sawit terus menghadapi perlakuan diskriminatif,” katanya saat berbicara pada Sesi III pertemuan dengan para pemimpin BRF, seperti diwartakan Antaranews, Minggu (28/4/2019).
Ia menyayangkan perlakuan diskriminatif itu mengatasnamakan isu sustainable palm oil. Padahal lanut JK, kelapa sawit telah memberikan kontribusi signifikan dalam pencapaian cita-cita pembangunan berkelanjutan (SDGs) di Indonesia.
Kontribusi tersebut diperkuat data-data yang akurat. “Sayangnya, semua data tidak didengarkan. Diskriminasi terus dijalankan sehingga berpengaruh terhadap pencapaian SDGs Indonesia. Oleh karena itu, diskriminasi ini harus dilawan,” kata dia dalam forum yang dihadiri sekitar 40 pemimpin negara/pemerintahan, termasuk Presiden China, Xi Jinping selaku tuan rumah sekaligus penggagas BRF.
Pria asal Bone itu menyebut, tidak ada satupun negara yang bisa mencapai SDGs sendiri tanpa sinergi dan kerja sama dengan negara lain, termasuk melalui BRF. “Kerja sama harus bersifat national-drivenbukan donor atau loan-giver driven,” ucapnya.
Kerja sama lanjut JK, juga harus memertimbangkan inklusivitas karena menurutnya, dengan pertimbangan tersebut BRF dapat menyejahterakan setiap negara yang tergabung di dalamnya. Demikian pula dengan peran swasta harus lebih banyak dilibatkan. “Dengan demikian proyek kerja sama tidak terlalu mengandalkan pada utang pemerintah,” ujar JK.
Selain itu, JK juga mengingatkan pentingnya kelestarian lingkungan yang merupakan bagian integral dari pencapaian SDGs. Yang lebih penting dalam kerja sama saling menguntungkan melalui BRF menurut dia, ialah kepemimpinan kolektif dan saling berbagi tanggung jawab.
“Me first policy tidak dapat diterapkan, jika kita ingin cita-cita SDGs terpenuhi. Di situ lah prinsip-prinsip multilateralisme diperlukan. Dunia akan melihat dan mencatat apakah janji dalam kerja sama Belt and Road ini benar-benar akan membawa keuntungan bagi semua,” ujarnya menandaskan.
Untuk diketahui, permintaan kelapa sawit Indonesia di China terus meningkat. Pada 2016 China mengimpor kelapa sawit sebanyak 3,23 juta ton. Kemudian pada 2017 menjadi 3,27 ton. Pada 2018 China menyetujui penambahan impor 500 ribu ton kelapa sawit dari Indonesia. Namun, Komisi Eropa memutuskan penghentian impor kelapa sawit sebagai bahan bakar dengan alasan deforestasi.
Sumber: Okezone.com