MINYAK kelapa sawit mendapatkan sentimen buruk akhir-akhir ini. Salah satu penyebabnya ialah rencana boikot yang dilakukan negara-negara Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit.

Namun, International Union for the Conservation of Nature atau Uni Internasional untuk Konservasi Alam, organisasi internasional yang didedikasikan untuk konservasi sumber daya alam, mengungkapkan dalam laporan mereka bahwa memboikot minyak kelapa sawit malah akan memperburuk masalah yang ada “sebab kebutuhan masyarakat dunia terhadap minyak nabati meningkat, seiring dengan terjadinya pertumbuhan populasi. Minyak nabati umumnya antara lain berasal dari kelapa sawit, biji bunga matahari, kedelai, biji kapas, dan biji rapa (kanola), dan masih banyak lagi.

Menghilangkan salah satu jenis minyak nabati dari rantai pasok hanya akan menggeser permintaan ke jenis minyak nabati lainnya, dengan potensi konsekuensi yang lebih buruk terhadap lingkungan.

Direktur Sustainability and Stakeholder Relations Asian Agri Bernard Riedo mengatakan kelapa sawit.merupakan tanaman penghasil minyak nabati yang paling produktif dan efisien dalam penggunaan lahan.

Data dari Oil World 2018 menyebutkan bahwa total luas secara keseluruhan produsen minyak nabati global ialah 290 juta hektare (ha) dengan angka produksi minyak nabati sebesar 221 juta ton.

Dari luasan lahan 290 juta ha tersebut, kedelai memakai 43% atau seluas 124,7 juta ha untuk menghasilkan 53,04 juta ton minyak nabati (24% saja).

Biji kapas memakai luasan lahan 12% atau 34,8 juta ha untuk menghasilkan 4,42 juta ton minyak (2% dari total angka produksi minyak nabati). Biji rapa (kanola) mengonsumsi lahan seluas 11% atau 31,9 juta ha untuk menghasilkan 24,31 juta ton minyak (11%). Biji bunga matahari memakan luasan lahan 9% atau 26,1 juta ha untuk menghasilkan 19,89 juta ton minyak (9%).

“Sedangkan kelapa sawit hanya menggunakan lahan sebesar 7% atau 20,3 juta ha untuk menghasilkan 75,14 juta ton minyak nabati atau sebesar 34% dari total angka produksi minyak nabati,” tutur Bernard melalui rilis yang diterima, Selasa (21/5).

Sisanya tumbuhan minyak nabati lainnya 18% penggunaan lahannya atau 52,2 juta ha untuk menghasilkan 20% minyak nabati atau 44,2 juta ton.

Ini artinya untuk menghasilkan volume produksi minyak yang sama, tanaman penghasil minyak nabati lainnya seperti kedelai, rapeseed, dan bunga matahari membutuhkan lahan 6 kali lebih luas jika dibandingkan dengan kelapa sawit.

“Dengan demikian, jika ingin mengganti minyak kelapa sawit, potensi untuk terjadinya deforestasi besar-besaran semakin terbuka lebar untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia melalui tanaman-tanaman tersebut,” tutur Bernard.

Sebagai solusi, menurut dia, bukan mengganti minyak kelapa sawit, melainkan bagaimana membuat industri ini berkelanjutan.

Beberapa badan sertifikasi seperti Indonesian Sustainable palm oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable palm oil (RSPO) menyediakan fondasi yang kuat untuk mendukung terciptanya hal tersebut, seperti larangan deforestasi, perlindungan terhadap lahan gambut, dan aturan yang jelas terhadap hak asasi manusia (HAM).

Bahkan, pada November 2018 tercatat lebih dari 4.000 anggota meliputi perusahaan, pemerintah, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendukung penambahan standar baru, yang disambut baik oleh WWF sebagai \’langkah maju yang signifikan\’.

Tantangannya, jelas Bernard, RSPO berbentuk sertifikasi yang bersifat sukarela sehingga penerapan praktik keberlanjutan menjadi tidak merata.

“Ada perusahaan yang secara serius menerapkan praktik pengelolaan yang berkelanjutan, tapi di sisi lain ada juga yang tidak peduli dan tidak melakukan. Di sini dukungan dari pemerintah sangat dibutuhkan,” ujar Bernard.

Indonesia juga mendukung hal ini melalui keberadaan sertifikasi Indonesian Sustainable palm oil System (ISPO) yang bersifat wajib bagi para pelaku industri. “Hal ini diperlukan untuk meningkatkan standar berkelanjutan pengelolaan kelapa sawit,” tambahnya.

Edukasi positif kelapa sawit Salah satu masalah terkait dengan citra kelapa sawit ialah para pemasok yang enggan mengakui penggunaan minyak kelapa sawit pada produk mereka, yang kemudian mengganti namanya menggunakan bahasa yang lebih umum seperti \’minyak nabati\’.

Akibatnya, banyak konsumen yang sering kali tidak menyadari bahwa sebagian besar dari produk yang mereka gunakan sehari-hari mengandung minyak kelapa sawit.

Meskipun saat ini banyak produk yang mulai menyertakan logo minyak kelapa sawit berkelanjutan pada kemasannya (seperti RSPO), pihaknya merasa masih perlu banyak mengedukasi masyarakat tentang hal-hal positif mengenai kelapa sawit.

Salah satunya, lanjut Bernard, jutaan orang khususnya di Asia Tenggara telah berhasil terangkat dari garis kemiskinan berkat industri kelapa sawit.

Pada era 80-an dan 90-an banyak dari mereka yang mulai berkecimpung di bidang ini hanya bermodalkan kemampuan dasar seputar kelapa sawit. Bahkan, beberapa di antara mereka datang dengan hanya bermodalkan pakaian yang mereka kenakan.

“Namun, hari ini anak-anak mereka dapat pergi ke sekolah bahkan perguruan tinggi dan menikmati kehidupan yang lebih baik berkat keberadaan industri ini. Solusinya bukan menjerumuskan mereka kembali pada kemiskinan, melainkan menjadi tanggung jawab bagi perusahaan besar seperti Asian Agri untuk bermitra bersama para petani
kelapa sawit dan menularkan komitmen dalam penerapan praktik keberlanjutan kepada mereka,” tutur Bernard.

Bersama dengan pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan, Asian Agri menerima kunjungan delegasi diplomat dari Negara-negara Uni Eropa. “Dalam beberapa kesempatan, para perwakilan Uni Eropa meninjau kebun kelapa sawit berkelanjutan dan berdialog langsung dengan petani plasma serta swadaya mitra kami di Riau dan Jambi. Seeing is believing,” ujar Bernard.

Kemitraan

Sertifikasi keberlanjutan bisa menjadi mahal dan tantangan bagi para petani kelapa sawit nasional yang saat ini berjumlah kurang lebih 1,7 juta keluarga, mencakup 42% total perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Untuk mendukung para petani dapat memperoleh sertifikasi, pada 2013 Asian Agri bekerja sama dengan WWF dan Carrefour memelopori proyek percontohan sertifikasi petani yang berhasil membawa asosiasi petard swadaya mitra Asian Agri di Ukui, Riau, menjadi asosiasi petani swadaya yang memperoleh sertifikasi RSPO pertama di Indonesia.

Inisiatif yang sama juga telah dilakukan Asian Agri dengan bermitra bersama UNDP dan Tanoto Foundation pada proyek percontohan sertifikasi ISPO untuk petani swadaya. Hal itu menjadikan asosiasi petani swadaya mitra Asian Agri kembali menjadi yang pertama di Indonesia memperoleh sertifikasi ISPO.

Perusahaan juga menjalin

Komitmen Kemitraan One to One Partnership Commitment, yaitu mewujudkan pengelolaan 1 hektare lahan petani sebanding dengan 1 hektare lahan inti Asian Agri.

“Bentuk kemitraan seperti ini akan mendukung para petani dalam penerapan praktik keberlanjutan,” ujar Bernard.

Perusahaan bermitra dengan petani dengan terlebih dahulu berfokus untuk meningkatkan produktivitas kebun mereka. “Karena akan sia-sia bila kita berbicara mengenai keberlanjutan atau sertifikasi, jika kita tidak meningkatkan produktivitas kebun mereka terlebih dahulu.”

Setelah petani merasakan manfaatnya, barulah secara bersamaan perusahaan memberikan informasi dan menerapkan bentuk praktik-praktik berkelanjutan, seperti yang dilakukan di perkebunan milik perusahaan.

“Ketika para petani melakukan hal serupa dan merasakan manfaatnya, barulah kita dapat berbicara mengenai sertifikasi,”

Komitmen Kemitraan One to One juga membantu Asian Agri untuk memastikan kemampu telusuran rantai pasok dengan melibatkan secara langsung para petard yang merupakan pemasok utama bagi perusahaan.

Pemanfaatan teknologi blockchain

Aspek kemamputelusuran ialah hal yang tidak lepas dari aspek keberlanjutan. Tentu bukan hal yang mudah bagi industri dengan jumlah pemasok dan perantara yang cukup banyak seperti pada industri kelapa sawit.

Keberhasilan Asian Agri dalam mencapai 100% kemamputelusuran pada 2017 tidak lepas dari peran Komitmen Kemitraan One to One yang melibatkan para petani kelapa sawit secara langsung dalam program kemitraan.

Meski begitu, hal tersebut membutuhkan proses yang panjang dan sering kali cukup menyulitkan bagi perusahaan lain untuk menerapkan hal yang sama.

Karena alasan tersebut, Asian Agri pada 2018 menjadi salah satu pendiri Sustain (Sustainability Assurance and Innovation Alliance – Aliansi Jaminan dan Inovasi Keberlanjutan) bersama Apical. Sustain sebuah kelompok yang terdiri atas para pelaku di industri kelapa sawit termasuk perusahaan perkebunan dan pengolahan kelapa sawit, produsen produk-produk konsumen, organisasi nirlaba, dan perusahaan teknologi yang menggunakan block-chain untuk meningkatkan kemamputelusuran minyak kelapa sawit.

Sustain pada awalnya terdiri atas para perusahaan produsen minyak kepala sawit, Asian Agri, dan KAO, mitra pelaksana CORE (Proforest dan Daeme-ter); organisasi nonprofit IDH; dan mitra teknologi SAP.

Minyak kelapa sawit berkelanjutan ialah solusi terbaik untuk memenuhi kebutuhan akan minyak nabati yang terus tumbuh, sambil mewujudkan kemajuan terhadap aspek keberlanjutan ini.

“Seluruh pelaku industri dan pemangku kepentingan harus bekerja sama. Perusahaan, petani, pemerintah, dan konsumen, kita semua perlu mengambil bagian untuk terus mendukung keberlanjutan,” tutup Bernard.

Sumber: Media Indonesia