Peluang Indonesia memacu ekspor produk turunan minyak kelapa sawit mentah ke India terancam oleh pemberlakuan safeguard impor untuk komoditas perkebunan tersebut.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, asosiasi minyak nabati India yakni The Solvent Extractors Association (SEA) meminta pemerintah negara itu memberlakukan safeguard terhadap produk turunan minyak kelapa sawit mentah {crude palm oil/CPO) dari Malaysia.

Hal itu, lanjutnya, disebabkan oleh adanya penurunan bea masuk produk tersebut dari Malaysia pada awal tahun ini dari 54% menjadi 45%. Kebijakan tersebut, dinilai menjadi penyebab lonjakan impor produk refined bleached deodorised olein (RBDO) di India.

“Gelombang protes dari industri minyak nabati domestik India sedang meningkat. Kondisi ini menjadi ancaman bagi Indonesia yang menginginkan penurunan bea masuk produk turunan CPO agar setara dengan Malaysia di India,” katanya, Minggu (25/8).

Sahat melanjutkan, Pemerintah India saat ini tengah melakukan investigasi terhadap lonjakan impor produk tersebut dari Malaysia, setelah mendapatkan desakan dari SEA.

Sejak Januari 2019, bea masuk produk turunan CPO dari Malaysia diturunkan oleh India setelah kedua negara menjalin pakta kerja sama ekonomi, yakni MICECA. Perjanjian bilateral itu membuat bea masuk CPO dari Malaysia ditetapkan sebesar 40% dan produk untuk turunannya sebesar 45%.

Produk CPO asal Indonesia dikenai bea masuk 40%, sedangkan produk turunannya 50%. Hal itu terjadi lantaran Indonesia tidak memiliki pakta kerja sama ekonomi bilateral dengan India.

Sahat menilai, Indonesia akan sulit untuk meminta penurunan bea masuk produk turunan CPO di tengah kondisi tersebut. Untuk itu, dia menyarankan pemerintah Indonesia untuk melakukan manuver dengan cara mendukung SEA untuk meminta pemerintah India menaikkan bea masuk produk turunan CPO dari Malaysia agar setara dengan Indonesia.

“Supaya level of playing field produk kita dengan Malaysia bisa seimbang,” ujarnya.

Apabila bea masuk produk turunan CPO antara Indonesia dengan Malaysia setara, ekspor produk tersebut dari RI akan meningkat. Namun demikian, dia mendesak agar pemerintah Indonesia memberikan insentif berupa penurunan biaya handling di pelabuhan kepada para eksportir produk tersebut.

Dia mengatakan, biaya handling untuk ekspor produk turunan CPO di Indonesia, saat ini masih lebih mahal 44% dibandingkan dengan di Malaysia. Kondisi itu, menurutnya, turut membebani para eksportir produk turunan CPO asal Indonesia.

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kanya Lakhsmi mengatakan, pemerintah RI harus jeli dalam melobi India agar tetap mampu mendapatkan pengurangan bea masuk produk tu-ruan CPO di negara tersebut.

“Kita sudah mengikuti sejumlah tuntutan India, seperti penurunan bea masuk gula mentah sebagai salah satu lobi-lobi, agar produk turunan CPO kita diturunkan bea masuknya. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah kita menagih komitmen pemerintah India terhadap produk CPO kita,” ujarnya.

Kanya mengharapkan, Indonesia dapat sesegera mungkin mengamankan pasar ekspornya di India. Pasalnya, Negeri Bollywood merupakan salah satu pasar ekspor terbesar CPO dan produk turunannya asal Indonesia. Namun, pangsa pasar Indonesia di India sepanjang tahun ini terus tergerus oleh peningkatan permintaan dari Malaysia.

Di sisi lain, dia menilai, protes yang dilakukan SEA wajar, lantaran pengusaha di asosiasi tersebut didominasi oleh produsen minyak nabati berbahan baku kedelai. Murahnya harga produk turunan CPO asal Indonesia, membuat produk minyak nabati lain di India menjadi sulit bersaing.

HAMBATAN NONTARIF

Ekonom Universitas Indonesia Fit-hra Faisal mengatakan, sulit apabila Indonesia meminta adanya penurunan bea masuk produk turunan CPO di India di tengah meningkatnya tuntutan perlindungan dagang dari produsen minyak nabati lokal.

Di sisi lain, dia memperkirakan, kendati pada akhirnya bea masuk produk turunan CPO Indonesia diturunkan oleh India, negara tersebut akan memberlakukan hambatan dagang nontarif. Persoalan hambatan nontarif, menurutnya, jauh lebih sulit untuk diselesaikan dibanding hambatan tarif.

“Apalagi CPO merupakan produk perkebunan yang dinilai dapat mengancam petani kedelai di India, yang jumlahya sangat besar,” jelasnya.

Untuk itu, dia meminta produsen dan pemerintah RI memacu diversifikasi pasar ekspor CPO dan produk turunannya dari negara-negara tradisional seperti India dan Uni Eropa. Pasar Afrika, Asia Timur dan Eropa Timur, menurutnya, menjadi lokasi yang menjanjikan untuk ekspor produk andalan RI tersebut.

Terpisah, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, proses lobi-lobi Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah India terkait dengan penurunan bea masuk produk turunan CPO masih berjalan. Dia mengklaim, Pemerintah India telah menunjukkan iktikad baik untuk merespons permintaan dari RI tersebut. “Respons mereka [Pemerintah India] sangat positif. Kami memahami, kebijakan mengenai CPO ini sangat berkaitan dengan kepentingan konstituen mereka dari kalangan petani. Namun, mereka sangat terbuka oleh segala kemungkinan. Dalam waktu dekat kami akan berkunjung kembali ke India,” jelasnya.

 

Sumber: Bisnis Indonesia