Setelah sukses dengan program mandatori biodiesel 20% atau B20 yang digulirkan sejak 2016, pemerintah melanjutkan penggunaan bahan bakar campuran menjadi 30% (B30) sejak akhir tahun lalu. Kemudian, mulai tahun ini B40 dan pada awal 2021 masuk ke B50. Tidak berhenti di situ, pemerintah telah mencanangkan program B100 yang artinya 100% berasal dari minyak nabati alias tidak ada komponen dari minyak fosil.

Biodiesel adalah campuran bahan bakar fosil jenis solar dengan fatty acid methyl ester (FAME) atau yang akrab disebut metil ester. FAME diproduksi melalui reaksi transesterifikasi antara penyusun utama minyak nabati dan metanol dengan bantuan katalis basa. Metil ester inilah yang menjadi bahan baku pembuatan biodiesel karena sifat fisik atau molekulnya mirip dengan petroleum diesel. Salah satu sumber metil ester berasal dari minyak kelapa sawit yang banyak di negeri ini.

B20 merupakan campuran 20% FAME yang bersumber dari minyak sawit mentah (crude palm oil/CFG) dan 80% solar. Artinya, dalam setiap 1 liter bahan bakar campuran itu terdapat 200 mililiter FAME dan 800 mililiter solar. Sejak mandatori B20 pada 2016, serapan biodiesel terus naik setiap tahunnya. Pada 2017, realisasi serapan FAME hanya 2,57 juta kilo liter (KL). Kemudian, pada 2018 serapan FAME untuk program B20 naik menjadi 4,02 juta KL. Hingga September 2019, serapan FAME mencapai 4,49 juta KL dari target 6,6 juta KL tahun lalu.

Target penyerapan FAME pada tahun lalu dipatok tinggi lantaran adanya perubahan kebijakan pemerintah. Pada 2016 hingga kuartal ketiga 2018, mandatori pencampuran biodiesel hanya diberlakukan untuk bahan bakar minyak (BBM) jenis solar bersubsidi. Namun, mulai September 2018, mandatori B20 diperluas hingga ke solar nonsubsidi baik untuk transportasi, pembangkit listrik, maupun industri.

Setidaknya ada tiga alasan pemerintah terus melakukan percepatan implementasi program biodiesel ini. Pertama, program tersebut merupakan bentuk ikhtiar untuk mencari sumber-sumber energi baru terbarukan (EBT). Indonesia harus melepaskan diri dari ketergantungan pada energi fosil yang suatu saat pasti akan habis.

Kedua, ketergantungan Indonesia pada impor bahan bakar minyak (BBM), termasuk solar di dalamnya, cukup tinggi. Sementara di sisi lain, Indonesia juga merupakan negara penghasil sawit terbesar di dunia. Melalui penerapan program biodiesel, pemerintah yakin bisa menghemat banyak devisa. Menurut kalkulasi pemerintah, dengan konsisten menerapkan B30 maka akan dihemat devisa hingga US$ 4,8 miliar atau sekitar Rp 63 triliun.

Ketiga, penerapan B30 juga akan menciptakan permintaan domestik akan CPO yang sangat besar. Implementasi B30 juga akan menimbulkan efek berganda terhadap 16,5 juta petani dan pekebun kelapa sawit. Selain itu, dengan implementasi program B30 hingga masuk ke B40, B50, dan B100 nantinya, Indonesia tidak akan mudah ditekan oleh negara-negara lain. Seperti diketahui, ekspor CPO Indonesia kerap menghadapi tantangan berupa kampanye negatif, misalnya dari Uni Eropa.

Untuk bisa mewujudkan B30, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi kebutuhan FAME tahun ini mencapai 9,6 juta kiloliter (kl) atau meningkat 45% dibandingkan tahun lalu. Artinya, untuk menuju B40, B50 hingga B100 akan banyak lagi tambahan FAME. Sementara itu, kalangan pengusaha sawit sanggup memenuhi program pemerintah tersebut hanya sampai 50% atau B50. Itu pun sudtah ngos-ngosan. Karena dengan 50%, FAME yang dibutuhkan akan mencapai sekitar 16 juta hingga 17 juta ton dari total produksi sawit Indonesia.

Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), produksi minyak sawit Indonesia mencapai 51,8 juta ton pada 2019 atau tumbuh sekitar 9% dari 47,43 juta ton di 2018. Produksi tersebut terbagi atas crude palm oil (CPO) sebesar 47,18 juta ton dan palm kernel oil (PKO) sebesar 4,6 juta ton. Sedangkan ekspor CPO termasuk produk turunannya pada tahun lalu sebesar 36,17 juta ton, tumbuh 4,2% dari 34,71 juta ton pada 2018. Komposisi ekspor sawit tersebut terbagi atas ekspor produk olahan CPO sebesar 68%, CPO 20%, biodiesel 3%, dan oleokimia 9%.

Kita mendukung langkah pemerintah untuk terus meningkatkan penggunaan biodiesel. Langkah tersebut dapat menekan impor BBM, menghemat devisa, dan menurunkan defisit neraca transaksi berjalan (CAD) Indonesia yang disebabkan tingginya impor migas. Namun demikian, langkah pemerintah menuju B100 perlu dilakukan dengan kehati-hatian. Pasalnya, produksi minyak sawit kita akan habis jika semuanya digunakan untuk mendukung program B100. Penggunaan minyak sawit yang terus meningkat untuk bahan bakar nabati (biofuel) juga akan bersaing dengan kebutuhan untuk pangan.

Pemerintah harus mencari sumber biofuel lain yang tidak bersaing dengan pangan. Minyak yang tidak dapat dimakan antara lain minyak jarak pagar, minyak karet, minyak kemiri sunan, minyak malapari, minyak kosambi, dan minyak nyamplung. Potensi sangat besar sebagai penghasil minyak nabati ada pada tanaman kemiri sunan. Tanaman ini telah dilepas sebanyak empat varietas unggul, dapat berfungsi sebagai tanaman konservasi yang bisa tumbuh di lahan kritis, termasuk lahan bekas tambang, umurnya panjang di atas 50 tahun, dan bijinya mengandung rendemen sekitar 50% sehingga sangat berpotensi untuk biodiesel.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia