Spent Bleaching Earth (SBE) ditetapkan sebagai limbah non B3. Aturan baru ini diharapkan mampu meningkatkan produk olahan SBE. Selain itu, daya saing ekspor produk hilir lebih menguat.
UU Cipta Kerja membawa berkah bagi industri pengolahan minyak sawit. Lewat regulasi turunannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Beleid ini menetapkan Spent Bleaching Earth (SBE) bukan lagi limbah berbahaya atau beracun (B3).
“Hanya di Indonesia, SBE ini disebut limbah B3. Berbeda dengan negara lain yang mengkategorikannya sebagai “solid-waste” material,” ucap Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) dalam perbingan via telepon.
Spent Bleaching Earth (SBE) merupakan limbah padat yang dihasilkan dari proses bleaching dalam industri pengolahan kelapa sawit seperti minyak goreng dan oleokimia. Dalam artikel ilmiah KY Cheong (2013) berjudul “Effect of Spent Bleaching Earth Based Bio Organic Fertilizer on Growth, Yield and Quality of Eggplants Under Field Condition”, dijelaskan bahwa SBE ini berasal saat proses degumming (pemisahan kotoran) dan bleaching (pemucatan warna) di dalam kegiatan refineri sawit. Dalam setahun, jumlah SBE mencapai 600 ribu ton dari proses refineri minyak nabati di seluruh dunia sebanyak 60 juta ton.
Memang, SBE dikhawatirkan beresiko bagi lingkungan karena kandungan minyaknya antara 20%-40%. Tak heran, pembuangan SBE dilarang di lapangan terbuka dan sembarangan. Lantaran akan memicu polusi dan dapat terbakar. Kendati demikian, teknologi mengurangi kadar minyak SBE telah diaplikasikan. Alhasil, material ini tidak dikategorikan limbah B3.
Sebagai informasi, SBE ini berasal dari bleaching earth dalam proses pemurnian minyak sawit di industri pengolahan. Bleaching earth adalah sejenis tanah liat yang banyak mengandung silika dan aluminium yang disebut fuller’s earth atau bentonite berasal dari hasil tambang.
Menurut Sahat, penamaan bleaching earth banyak ragam. Di Inggris, material ini dinamakan “fuller’s earth”. Sementara Amerika, bahan pemutih ini disebut “bentonite” ( ditemukan di Arkansas, Death Valley, Utah dan Montana). Pada 1878, industri di Amerika Serikat memakai fuller’s earth untuk penjernihan soybean oils dan seluruh dunia mulai menggunakannya sebagai penjernih minyak termasuk wine, liquer, cider, beer dan vinegar. Di Indonesia, fuller’s earth banyak ditemukan di Indonesia seperti Cimapaks (Sukabumi), Sipirok – Sumatera Utara dan daerah perbukitan di Jawa Timur.
Dijelaskannya bleaching earth sejenis tanah liat (clay) dan sangat aktif sebagai absorben dengan komponen utama berupa oksida-oksida Si, Al, Fe, Mg dan K . Agar berdaya serap lebih tinggi lalu diolah dengan cara pelumatan bahan galian, diacidifikasi, dikeringkan, dan lebih dihaluskan agar luas permukaan bahan menjadi lebih besar.
Dalam presentasi GIMNI berjudul Aplikasi TPPBM Sebagai Bahan Konstruksi Bangunan dijelaskan bahwa Bleaching Earth dipakai berkisar 1%-1,1 % dari berat minyak sawit yang diolah untuk menyerap warna dan zat-zat organik tersebut. Proses inilah yang menghasilkan Spent Bleaching Earthberwarna hitam dan mengandung minyak sawit berkisar 22% – 30% dari berat total SBE.
Sahat menjelaskan SBE tidak dikategorikan Limbah B3 karena bahan pemucat (bleaching earth) bukanla bahan B3. Setelah itu diolah menjadi minyak nabati (non B3). ”Logikanya, bahan non B3 bercampur dengan B3. Lalu kenapa harus dimasukkan limbah B3?” tanya Sahat.
“Di berbagai negara, limbah SBE dapat diolah dengan teknologi untuk menurunkan kandungan minyak di dalamnya kurang dari 3%,” ujar alumni Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung ini.
Menurutnya, SBE dapat diolah menjadi produk bernilai tambah melalui teknologi solvent extraction. Mengurangi kandungan minyak di SBE melalui teknologi Solvent Extraction dengan memakai pelarut hexan.
Teknologi Solvent Extraction dapat mengolah B3 –SBE menjadi produk seperti pasir De-OBE dan minyak R-Oil. Produk yang dihasilkan dari ekstraksi antara lain subtitusi pasir untuk pembuatan bahan bangunan, bahan pupuk mikronutrisi, pelapis dasar jalan raya, bahan baku keramik, re-use bahan baku bleaching earth, dan bahan baku semen.
“SBE ini merupakan sumber daya baru. Dapat mendatangkan investasi dan punya nilai tambah dengan teknologi,” ujar Sahat.
Di Malaysia, SBE telah dikaji bermanfaat untuk pupuk di perkebunan sawit. Pendekatan ini dilakukan dalam riset KY Cheong (2013) berjudul “Effect of spent bleaching earth based bio organic fertilizer on growth, yield and quality of eggplants under field condition”. SBE dapat diolah menjadi pupuk organik yang diformulasikan dengan batang sawit, pelepah kelapa sawit, dan tandan kosong.
Lalu berapa jumlah SBE dihasilkan dalam sehari? Sahat menjelaskan dengan kapasitas refineri sawit antara 600 ton sampai 2.500 ton per hari. Dengan asumsi penggunaan bleaching earth sebesar 1%-2%, rerata akan menghasilkan SBE berjumlah 6 ton per hari.
Sahat menyayangkan kalangan LSM dan peneliti yang tidak membaca PP Nomor 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Spent Bleaching Earth (SBE) ditetapkan menjadi limbah non B3 sebagaimana tercantum dalam lampiran XIV. SBE dengan kode N 108 dalam lampiran PP Nomor 22/2021 disebutkan Proses industri oleochemical cikal dan/atau pengolahan minyak hewani atau nabati yang menghasilkan SBE hasil ekstraksi (SBE Ekstraksi) dengan kandungan minyak kurang dari atau sama dengan 3%.