Bantuan biaya peremajaan (replanting) kebun kelapa sawit petani diusulkan naik menjadi Rp 35 juta per hektare (ha) dari saat ini Rp 25 juta per ha. Usulan itu dilakukan karena bantuan sebesar Rp 25 juta belum mampu mengurangi beban petani. Tahun ini, pemerintah menargetkan peremajaan kebun sawit petani 185 ribu ha. Program itu ditetapkan pemerintah dengan menggunakan alokasi anggaran dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit(BPDPKS).
Menurut Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Bambang, usulan itu telah diajukan melalui Surat Menteri Pertanian kepada Menko Perekonomian, namun hingga kini belum ada pembahasan lebih lanjut. “Sudah diusulkan lewat surat Pak Menteri (Menteri Pertanian) ke Menko Perekonomian, sebulanan lalu. Belum ada pembahasan. Tentu akan dibahas Komite Pengarah,” kata Bambang usai lokakarya Pembelajaran Sertifikasi ISPO untuk Pekebun di Jakarta, kemarin.
Dia mengatakan, dalam program peremajaan kebun sawit petani, terjadi perkembangan atau dinamika di lapangan. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melihat angka Rp 25 juta atau Rp 100 juta per kepala keluarga (KK) tidak mencukupi, sehingga meminta Kemenko Perekonomian untuk menaikkan standar (dana bantuan peremajaan) dan bila perlu dibiayai penuh sekalian.
Tapi karena mempertimbangkan masih banyak lahan yang harus dibantu replanting-nya, kami apresiasi usulan itu tapi tidak usah sepenuhnya.
Diusulkan naik menjadi Rp 35 juta per ha,” ungkap Bambang.
Seperti diketahui, pemerintah tengah memacu peremajaan kebun sawit petani rakyat guna memacu produktivitas kelapa sawit serta memperbaiki tata kelola dan cara berkebun yang baik. Dari total 5,61 juta ha lahan sawit rakyat, pemerintah memperkirakan lahan seluas 2,40 juta ha di antaranya mendesak diremajakan. Ditjen Perkebunan Kementan mencatat, per 20 Agustus.2018, dari total 14.792,15 ha rekomendasi teknis (rekomtek) yang diterbitkan sepanjang 2017-2018 di delapan provinsi mencakup 6.727 KK pekebun, realisasi tanam hanya 4.223,55 ha. Padahal pemerintah menargetkan peremajaan kebun sawit rakyat 2016 dan 2017 masing-masing 200 ha dan 20.780 ha.
Bambang masih optimis target peremajaan tahun ini hingga 185 ribu ha bisa terealisasi, meski tahun ini tinggal tersisa waktu sekitar tiga bulan. “Bisa, pasti. Sekarang kan sedang proses,” kata dia. Dalam persyaratan ditetapkan, petani penerima bantuan dana peremajaan dari BPDP KS harus memiliki lahan yang legal, menjalankan prinsip cara bertanam kelapa sawit yang baik, serta dipersiapkan bisa memenuhi standar sertifikasi Indonesian Sustainable palm oil (ISPO).
Pemerintah, lanjut Bambang, mendorong petani swadaya mengikuti sertifikasi ISPO. Sertifikasi ISPO sebaiknya diberlakukan wajib bagi semua pelaku usaha perkebunan kelapa sawit, termasuk petani swadaya. “Kami harapkan sertifikasi ISPO berlaku wajib semuanya. Sekarang kan masih sukarela. Kita dorong, sambil kita rapikan. Termasuk soal legalitas lahan, mengawal supaya tata kelola dan cara budidayanya dijalankan dengan baik,” kata Bambang.
ISPO adalah komitmen negara melaksanakan tata kelola industri kelapa sawit yang baik sesuai dengan ketentuan, tetap menjaga keamanan lingkungan dan demi kemakmuran rakyat. ISPO itu menyertifikasi sistemnya, tata cara menghasilkan, hingga produk yang dihasilkan dan bukan hanya minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
“Dalam pelaksanaan hingga pengawasannya merupakan tupoksi Kementan sebagai kementerian teknis yang bertanggung jawab atas perkebunan, didukung kementerian lain, di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian,” kata Bambang.
Legalitas Lahan
Terkait legalitas lahan, Kementan akan berkoordinasi dengan kementerian lain, di antaranya menyangkut status kebun yang telah mengantongi izin dan diusahakan namun kemudian dikategorikan sebagai wilayah masuk kawasan hutan. Koordinasi ini sesuai dengan perintah Presiden melalui Inpres No 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa sawit (Inpres Moratorium Sawit).
Dalam Inpres No 8 Tahun 2018 diperintahkan agar ada evaluasi atas perizinan perkebunan kelapa sawit Dalam hal ini, Kementan akan menginventarisasi dan mengidentifikasi data perkebunan, mulai dari desa. “Kalau kebun itu dinyatakan masuk ke dalam kawasan, datanya direkapitulasi. Kalau yang menerbitkan izinnya bupati, supaya mengajukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) agar dilepaskan. Kalau bisa dilepaskan, didorong agar segera mendapat sertifikat lahan legal dari Kementerian ATR/BPN. Setelah itu, pekebun baru bisa mengikuti proses menuju sertifikasi ISPO,” kata Bambang.
Jika kebun yang masuk dalam kawasan-tidak dapat dilepaskan dari kawasan hutan atau berada di dalam hutan lindung atau konservasi, lanjut dia, pemerintah akan mengupayakan solusi penyelesaian. Karena, kebun tersebut memang harus dikembalikan ke fungsi awalnya.
Wakil Sekjen Asosiasi Petani Kelapa sawit Indonesia (Apkasindo) Rino Afrino mengatakan, diperlukan insentif sebagai daya tarik untuk memacu sertifikasi ISPO bagi petani swadaya. Pasalnya, biaya untuk memenuhi persyaratan-persyaratan ISPO tidaklah murah. Pada kasus sebelumnya misalnya, satu koperasi “bahkan harus menghabiskan Rp 500 juta untuk pengurusan proses menuju sertifikasi ISPO. Biaya itu bahkan bisa lebih mahal jika kebun si petani belum bersertifikat lahan yang legal. Apalagi, jika masih harus diurus pelepasannya dari kawasan hutan.
Karenanya, kata dia, petani sawit menjadi malas untuk mengurus sertifikasi ISPO. Legalitas memang menjadi poin utama dalam masalah sertifikasi ISPO, namun demikian pembiayaan juga menjadi faktor berpengaruh. “Makanya harus diiming-imingi. Idealnya, memang dibiayai. Di dalam Perpres penguatan ISPO itu rencananya begitu, dibiayai oleh APBN atau sumber lain, bisa perusahaan (bermitra), bisa BPDP KS.” kate Rino.
Sumber: Investor Daily Indonesia