JAKARTA. Hasil keputusan trialog Uni Eropa baru-baru ini yang memperpanjang penggunaan biofuel berbasis minyak kelapa sawit (CPO) hingga tahun 2030 menjadi berita baik Indonesia. Namun kini pemerintah harus mengejar pengembangan keberlanjutan lahan kelapa sawit terutama di tingkat lahan sawit petani.

“Perpanjangan Uni Eropa hingga tahun 2030 itu harus ditanggapi dengan aksi yang jelas untuk buat lahannya bersertifikasi, maka syarat-syarat forestasi dan kualitas lingkungan yang uni Eropa minta bisa dipenuhi,” kata Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga kepada Kontan.co.id, Selasa (19/6).

Asal tahu, beberapa waktu lalu pertemuan trialog antara Komisi Eropa, Parlemen Eropa dan Dewan Uni Eropa, menghasilkan keputusan bahwa pengguna biofuel berbasis CPO masih diperbolehkan melampaui tahun 2021 menjadi hingga tahun 2030. Adapun impor produk berbasis komoditas tersebut tetap akan dibuka selama periode tersebut. Keputusan tersebut sesuai hasil teks Arahan Energi Terbarukan Uni Eropa [RED II], yang disetujui dalam pertemuan trialog.

Menurut Sahat, pengembangan lingkungan dan keberlanjutan lahan sawit menjadi kajian yang penting dalam teks yang digunakan Uni Eropa. Kemudian, selama ini yang menjadi pengganjal utama minyak kelapa sawit Indonesia adalah isu deforestasi. Padahal bila petani mendapatkan akses sertifikasi tanah dan bantuan dalam melakukan peremajaan dan pengolahan lahan, bakal sangat membantu sustainabilitas lahan sawit.

Sejumlah hal yang menurutnya bisa dilakukan pemerintah adalah memperjelas area-area hutan rakyat yang bisa digunakan untuk lahan sawit. Pasalnya, kerap terjadi bentrok antara rakyat yang ingin mengubah lahan warisan mereka menjadi kebun sawit, namun tidak mendapat izin dari Kementerian Kehutanan.

“Jadi harus ada pemutihan lahan, sertifikasi tanah dan untuk HGU dan tindakan untuk area penghutanan kementerian kehutanan harus transparan,” jelasnya.

 

Sumber: Kontan.co.id