karbon indonesia
China menunjukkan minat besar untuk membeli emisi karbon dari Indonesia, khususnya dari sektor perkebunan kelapa sawit yang menjadi andalan ekspor nasional. Langkah ini tidak hanya membantu China mengurangi emisi globalnya sebagai negara penghasil karbon terbesar, tetapi juga membuka peluang pendapatan baru bagi petani dan industri sawit di Indonesia. Dengan potensi investasi mencapai ratusan triliun rupiah, perkebunan kelapa sawit bisa untung besar melalui penjualan kredit karbon dan pengembangan infrastruktur.​

Latar Belakang Minat China di Karbon Sawit Indonesia

Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) sekaligus Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mengungkapkan hal ini dalam Workshop Jurnalis Promosi UKM Sawit pada 23 Oktober 2025. China, sebagai penghasil emisi karbon tertinggi di dunia, melihat Indonesia sebagai mitra strategis untuk membeli kredit karbon guna memenuhi target pengurangan emisi mereka. Sektor kelapa sawit Indonesia, yang dikenal sebagai carbon sink efektif, mampu menyerap karbon lebih tinggi per hektar dibandingkan hutan tropis biasa melalui proses biosequestrasi dalam biomassa tanamannya. Hal ini sejalan dengan komitmen global seperti Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia untuk menurunkan emisi hingga 41% pada 2030 dengan bantuan internasional.​

Perdagangan karbon di sektor sawit melibatkan tiga skema utama: konservasi stok karbon, peningkatan stok karbon, dan penurunan emisi produksi minyak sawit. Kerja sama ini didukung oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang telah menjalin kemitraan dengan Chinese Society for Environmental Sciences (CSES) untuk menyusun metodologi khusus perdagangan karbon sawit. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya memanfaatkan potensi ekonomi sawit sebagai biodiesel, tetapi juga sebagai sumber pendapatan tambahan melalui kredit karbon yang dijual ke pasar global.​

Keuntungan Langsung bagi Petani dan Industri Sawit

Dana dari penjualan emisi karbon ke China akan difokuskan untuk mendanai pengembangan koperasi petani dan mesin pengolahan tandan buah segar (TBS) sawit. Sahat Sinaga menekankan perlunya mempercepat pembentukan koperasi agar petani bisa mengelola produksi secara mandiri, bukan lagi sebagai objek pasar. Selain itu, China siap mendukung program replanting sawit selama enam tahun dengan anggaran sekitar Rp 171,2 triliun, yang akan meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman.​

Pada Mei 2025, Sahat juga menyebutkan minat China untuk berinvestasi US$ 9 miliar atau sekitar Rp 148,59 triliun dalam bentuk mesin pengolahan selama tujuh tahun mulai 2026. Investasi ini bertukar dengan hak pembelian emisi karbon dan 35% produksi sawit model baru bernutrisi tinggi, yang saat ini sedang dalam tahap penjajakan. Teknologi baru dari China, seperti pengolahan menggunakan udara panas alih-alih uap, akan menurunkan emisi karbon produksi sawit secara signifikan. Akibatnya, petani tidak hanya untung dari penjualan TBS, tetapi juga dari emisi karbon yang dihasilkan, menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan daerah.​​

Praktik perkebunan berkelanjutan seperti replanting efisien, agroforestri, dan pengelolaan lahan gambut akan semakin ditingkatkan, membuka akses ke dana jasa lingkungan dan sertifikasi keberlanjutan. Petani swadaya, yang mendominasi perkebunan sawit Indonesia, bisa menjadi penjaga iklim dari kebun mereka sendiri melalui skema ini. Secara ekonomi, ini sejalan dengan hilirisasi sawit di China yang sudah menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi mitra Indonesia.​

Tantangan dan Strategi Pengembangan Masa Depan

Meski potensial, realisasi investasi ini bergantung pada regulasi pemerintah Indonesia, termasuk izin penjualan emisi karbon yang belum sepenuhnya terbuka. DMSI telah berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup untuk membahas hal ini. Selain China, Indonesia juga menawarkan perdagangan karbon ke Korea Selatan untuk kredit sawit dan Jepang untuk energi terbarukan.​​

Untuk mengoptimalkan, diperlukan pengembangan standar biodiesel tinggi, regulasi pasar karbon yang jelas, dan peningkatan teknologi budidaya. Kemitraan seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) juga mendorong produksi sawit rendah emisi, yang mendukung tren global. Dengan Perpres No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, Indonesia siap membuka bursa karbon untuk sektor perkebunan.​

Peluang ini menjadikan kelapa sawit sebagai komoditas strategis ganda: sumber biodiesel untuk kemandirian energi dan carbon sink untuk mitigasi iklim. Melalui kerja sama dengan China, industri sawit Indonesia berpotensi tumbuh lebih hijau dan berkelanjutan, memberi manfaat jangka panjang bagi petani dan ekonomi nasional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *