minyakita

Penerapan biodiesel B50 di Indonesia pada 2026 berpotensi menaikkan harga minyak goreng hingga 9 persen akibat peningkatan permintaan minyak sawit untuk bahan baku biodiesel, meskipun kebijakan ini diharapkan menghemat devisa impor solar sebesar Rp172,35 triliun. Guru Besar IPB University Bayu Krisnamurthi menekankan perlunya perhitungan matang agar industri sawit tetap kompetitif, karena kenaikan mandatori dari B40 ke B50 bisa menekan ekspor CPO hingga Rp190,5 triliun dan menambah beban subsidi pemerintah. Kajian dari Pranata UI juga merekomendasikan pendekatan adaptif berbasis data untuk mendukung transisi energi hijau tanpa mengorbankan petani sawit.​

Alasan Utama Kenaikan Harga Minyak Goreng

Kebijakan biodiesel B50 mengharuskan campuran 50 persen minyak sawit dalam BBM solar, yang meningkatkan kebutuhan bahan baku domestik menjadi 20,1 juta kiloliter per tahun dari 15,6 juta kiloliter pada B40. Hal ini mengalihkan pasokan minyak sawit dari konsumsi rumah tangga ke produksi biodiesel, sehingga harga minyak goreng diprediksi naik sekitar Rp1.900 per liter atau hingga 9 persen secara keseluruhan. Selain itu, harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit bisa melonjak Rp618 per kilogram karena permintaan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya membebani konsumen akhir seperti ibu rumah tangga dan industri makanan.​

Peningkatan tarif pungutan ekspor CPO juga menjadi faktor pendukung, di mana kenaikan 1 persen tarif bisa menurunkan harga TBS hingga Rp333 per kilogram, terutama merugikan petani swadaya yang posisinya lemah dalam rantai pasok. Produksi sawit Indonesia yang diproyeksikan hanya 49,5 juta ton pada 2025 belum mencukupi kebutuhan domestik 59 juta ton untuk B50, sehingga pemerintah mungkin membatasi ekspor untuk mengamankan pasokan internal.​

Manfaat Ekonomi dan Tantangan Fiskal

Meski berisiko bagi harga minyak goreng, biodiesel B50 mendukung kemandirian energi dengan mengurangi impor solar dan memperkuat industri sawit sebagai penyedia bahan baku utama. Penghematan devisa impor mencapai Rp172,35 triliun, yang sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto untuk menekan emisi karbon dan memperluas bauran energi nabati. Namun, potensi kerugian ekspor CPO Rp190,5 triliun bisa melemahkan neraca perdagangan dan stabilitas rupiah, terutama karena harga CPO Indonesia lebih tinggi dari minyak nabati pesaing seperti kedelai atau bunga matahari.​

Beban subsidi biodiesel juga akan meningkat signifikan, memerlukan tambahan kapasitas produksi sekitar 4 juta kiloliter dan setidaknya lima pabrik baru untuk memenuhi target B50. Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menegaskan kesiapan infrastruktur hulu menjadi kunci, termasuk opsi blending FAME-HVO untuk efisiensi.​

Rekomendasi untuk Industri Sawit Berkelanjutan

Untuk memitigasi dampak terhadap harga minyak goreng, pakar merekomendasikan kebijakan berbasis data yang mempertimbangkan daya saing ekspor, kesejahteraan petani, dan kapasitas produksi nasional. Peningkatan investasi sawit yang stagnan akibat kebijakan tidak menentu harus diatasi, termasuk melalui Domestic Market Obligation (DMO) untuk mengikat ekspor dengan penjualan domestik. Dengan pendekatan ini, biodiesel B50 bisa menjadi peluang transisi energi tanpa menggerus industri sawit, sambil menjaga stabilitas harga pangan esensial seperti minyak goreng bagi masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *