Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia memproyeksikan volume ekspor minyak kelapa sawit sepanjang tahun ini hanya tumbuh maksimal 3,4%.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan bahwa proyeksi tersebut lebih pesimistis dibandingkan dengan prediksi pada awal tahun ini. Pada awal 2019, GIMNI memproyeksikan volume ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya bisa mencapai 5,7%.

“Secara keseluruhan [ekspor CPO dan produk turunannya] sampai April 2019 sepertinya hanya 3,4%. Sebelumnya bisa sampai 5,7%,” katanya, Kamis (17/5).

Sahat menjelaskan bahwa penurunan pertumbuhan ekspor itu disebabkan oleh melemahnya penjualan komoditas unggulan Indonesia tersebut di pasar global.

GIMNI memproyeksikan ekspor seluruh produk sawit Indonesia pada semester 1/2019 hanya 17,35 juta ton turun 5,9% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Ekspor itu terdiri atas CPO sebanyak 5,07 juta ton dan produk hilir olahan sawit sebesar 12,28 juta ton.

Sementara itu, realisasi ekspor CPO dan produk turunannya pada semester 1/2018 mencapai 18,4 juta ton.

Konsumsi CPO di pasar domestik sampai pertengahan tahun ini diperkirakan mencapai 8,73 juta ton, terdiri atas 5,08 juta ton untuk produk olahan pangan, 496.000 ton untuk produk olahan oleokimia, 3,14 juta ton biodiesel (fatty acid methyl es-fer/FAME), dan 14.000 ton produksi biosolar atau green diesel.

Sahat menuturkan, kinerja ekspor komoditas itu akan pulih pada semester 11/2019 yang bisa tumbuh 3,6%.

Dia menilai bahwa pemerintah perlu mengubah regulasi terkait dengan pungutan ekspor kelapa sawit. Melalui perubahan regulasi pungutan ekspor itu, dia optimistis ekspor minyak sawit bisa naik menjadi 18,5 juta ton.

“Semester pertama dana pungutan nol tidak memengaruhi harga. Harga memang tidak selalu berkaitan dengan pungutan, tetapi lebih pada yang diinginkan oleh pasar. Nah, bukan minyak sawit mentan yang diinginkan, tapi produk hilir.”

Dalam kesempatan berbeda, General Manager of Smallholders Programme and Projects Grup Musim MasRobert Nicholls menjelaskan bahwa kegiatan peremajaan kebunsawitoleh petani swadaya yang bermitra dengan Musim Mastelah dipersiapkan sekitar 1,5 tahun lalu.

“Program ini melibatkan petani swadaya berjumlah 21 orang. Dengan luas lahan diremajakan 58,57 hektare dengan umur tanaman rata-rata 25 tahun-32 tahun,” katanya, Sabtu (18/5).

Perkebunan petani swadaya yang diremajakan itu berlokasi di Labuh-anbatu, Sumatra Utara.

Robert menjelaskan,Musim Mas menyokong penghasilan petani yang belum mendapatkan penghasilan dari kebun sawit yang masih diremajakan tersebut. Kebun sawit petani yang diremajakan tersebut baru menghasilkan dalam 3 tahun ke depan.

Musim Mas juga menggandeng International Finance Corporation (IFC), anggota dari Bank Dunia berkaitan dengan bantuan untuk program petani yang dimulai sejak 10 Juni 2015. Kerja sama ini meliputi mengadakan pelatihan agronomi, legal, dan bisnis kepada petani swadaya agar mereka dapat meraih sertifikasi.

Pelaksana tugas Bupati Labuhan batu Andi Suhaimi Dalimunthe mengatakan, program peremajaan kelapa sawit petani ini sangat membantu masyarakat dan dapat mempermudah dalam meningkatkan hasil pertanian. Sementara itu, pemerintah diharapkan agar mengkaji ulang tata kelola sawit dan istilah deforestasi supaya tidak dijadikan sentimen negatif terus menerus. Guru Besar Institut Pertanian Bogor Bidang Kebijakan, Tata Kelola Kehutanan, dan Sumber Daya Alam Budi Mulyanto mengatakan, tanpa definisi yang jelas, isu deforestasi akan terus berulang sebagai pernyataan provokatif serta tidak mempertimbangkan berbagai perbaikan yang dilakukan pemerintah.

“[Dengan redefinisi] Isu tentang pasokan rantai sawit kotor dari perkebunan sawit yang melakukan deforestasi seharusnya sudah berakhir. Namun, perbedaan persepsi tentang definisi deforestasi menjadikan isu itu tetap hangat sebagai topik utama kampanye antisawit.”

Sumber: Bisnis Indonesia