JAKARTA – Ekspor minyak sawit nasional pada Agustus 2018 mencapai 3,30 juta ton, atau naik 2,48% dari bulan sebelumnya yang hanya 3,22 juta ton. Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang relatif rendah di pasar global telah mendorong para trader untuk membeli sebanyak-banyaknya komoditas tersebut. Sepanjang Agustus 2018, rata-rata harga CPO hanya mencapai US$ 557,50 per metrik ton (mt), terendah sejak Januari 2016.

Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) merilis, ekspor minyak sawit pada Agustus 2018 mencapai rekor tertinggi Ekspor minyak sawit Indonesia (CPO, palm kernel oil/VKO, dan turunannya), oleokimia, dan biodiesel mencapai 3,30 juta ton pada Agustus 2018, atau naik 2,48% dari Juli 2018 yang tercatat 3,22 juta ton. Khusus ekspor CPO, PKO, dan turunannya juga tercatat sebagai angka ekspor tertinggi sepanjang 2018 yakni mencapai 2,99 juta ton. Namun secara akumulasi, ekspor minyak sawit pada Januari-Agustus 2018 turun 2%, yakni dari 20,43 juta ton pada periode sama 2017 menjadi 19,96 juta ton.

Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono menjelaskan, pembelian CPO dan produk turunannya pada Agustus 2018 paling tinggi dicatatkan oleh India yang mencapai 823 ribu ton atau meningkat sekitar 26% dari bulan sebelumnya. Hal ini merupakan volume tertinggi sepanjang sejarah perdagangan minyak sawit Indonesia dengan India. Peningkatan impor CPO dan produk turunannya juga dibukukan Tiongkok sebesar 26%, lalu Amerika Serikat (AS) naik 64%, negara-negara Afrika tumbuh 19%, dan Pakistan meningkat 7%.

Hanya saja, lanjut Mukti, permintaan minyak sawit yang tinggi masih belum mampu mengerek harga CPO global. Di sisi lain, harga CPO global yang rendah dimanfaatkan oleh trader untuk membeli sebanyak-banyaknya. Sepanjang Agustus 2018, harga bergerak di kisaran USS 542,50r577,50 per mt dengan rata-rata USS 557.50 per mt. “Ini merupakan harga terendah yang dibukukan sejak Januari 2016. Harga CPO global terus tertekan karena harga minyak nabati lain yang sedang jatuh, khususnya kedelai dan stok minyak sawit yang cukup melimpah di Indonesia dan Malaysia,” tutur Mukti di Jakarta, kemarin.

Sementara itu, lanjut Mukti, impor dari kawasan Uni Eropa (UE) tercatat turun sebesar 10% dan diikuti Bangladesh yang terpangkas 62%. Penurunan permintaan oleh UE karena masih tingginya stok minyak rapeseed dan minyak bunga matahari. “Sedangkan permintaan Bangladesh mengalami penurunan yang drastis karena pada bulan sebelumnya telah melakukan impor yang tinggi, sehingga stok menumpuk,” kata Mukti.

Terkait produksi, lanjut dia, pada Agustus 2018 mencapai 4,06 juta ton atau menurun sekitar 5% dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 4,28 juta ton. Penurunan produksi terjadi karena faktor iklim dan pola produksi bulanan. Juga, kemungkinan disebabkan petani tidak memanen dengan maksimal karena harga yang rendah. Namun demikian, secara year on year, produksi CPO dan PKO pada periode Januari-Agustus 2018 mencapai 30,67 juta ton atau naik 19% dari periode sama 2017 yang mencapai 25,85 juta ton. Sementara stok nasional masih cukup tinggi, sehingga di beberapa tempat mempengaruhi perdagangan CPO maupun tandan buah segar (TBS). Sementara itu. Wakil Ketua Umum III Gapki bidang Urusan Perdagangan dan Keberlanjutan Togar Sitanggang pada seminar tentang Sustainable palm oil yang digelar Eurocham di Jakarta, Kamis (27/9), memaparkan, pergerakan harga CPO sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Kondisi itu membuktikan bahwa harga sawit berperan untuk* perekonomian dan kesejahteraan petani.

Damiana Simanjuntak

 

Sumber: Investor Daily Indonesia