JAKARTA-Ekspor minyak sawit nasional sepanjang 2020 mencapai US$ 22,97 miliar, atau naik 13,60% dari realisasi 2019 yang sebesar US$ 20,22 miliar. Perbaikan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di pasar internasional mampu menutupi lemahnya permintaan komoditas perkebunan tersebut.
Sementara pasar ekspor minyak sawit untuk tahun ini diyakni masih sangat menjanjikan, asalkan program vaksinasi Covid-19 di seluruh dunia berjalan sukses sehingga mampu meningkatkan aktivitas ekonomi global yang kemudian mendorong permintaan komoditas tersebut dari negara tujuan ekspor Indonesia.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha kelapa sawit Indonesia (Gapki), volume ekspor minyak sawit RI pada 2020 hanya 34 juta ton atau turun 9,07% dari 2019 yang sebanyak 37,39 juta ton sebagai akibat situasi pandemi yang berdampak global. Penurunan ekspor terbesar terjadi ke Tiongkok sebesar 1,96 juta ton, ke Uni Eropa 712.700 ton, ke Bangladesh 323.900 ton, ke Timur Tengah 280.700 ton, dan ke Afrika 249.200 ton. Sedangkan ke Pakistan justru naik 275.7000 ton dan ke India 111.700 ton. “Meski volume menurun, secara nilai, ekspor minyak sawit 2020 mencapai US$ 22,97 miliar atau lebih tinggi dari 2019 yang sebesar US$ 20,22 miliar,” kata Ketua UmumGapkiJoko Supriyono di Jakarta, Kamis (4/2).
Menurut Joko, nilai ekspor minyak sawit pada 2020 yang demikian besar menjadikan komoditas itu sebagai salah satu kontributor utama penjaga neraca perdagangan nasional tetap positif. Neraca perdagangan bulanan Indonesia pada 2019 hampir selalu negatif dengan total defisit US$ 3,23 miliar, sedangkan pada 2020 selalu positif kecuali pada Januari dan April dengan total nilai US$ 21,72 miliar. “Selama 2020, neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 21,27, ekspor produk sawit menyumbang US$ US$ 22,97 miliar, angka-angka itu menunjukkan bahwa di masa pandemi kontribusi minyak sawit terhadap devisa negara sangat signifikan da-
lam menjaga neraca perdagangan nasional tetap positif,” jelas Joko.
Tahun 2020 diawali dengan optimisme industri sawit karena pada Desember 2019 harga CPO CIF Rotterdam mencapai US$ 787 per ton, mulai bergerak naik dari US$ 542 per ton sejak Agustus 2019 setelah rata-rata US$ 524 per ton selama Januari-Agustus 2019. Namun, pada Januari-Mei 2020 harga turun menjadi US$ 526 per ton karena permintaan di Tiongkok mulai menurun dipengaruhi Covid-19, tekanan pasokan kedelai ke Tiongkok karena perang dagang dengan Amerika berkurang dengan panen kedelai di Brasil, dan anjloknya harga minyak bumi menjadi US$ 27 per barel (US$ 147 per ton). Pada Mei 2020, Tiongkok sudah pulih dari pandemi dan meningkatkan impor besar-besaran oilseed dan minyak nabati untuk memulihkan stok yang telah terkuras dan ini mendorong harga minyak nabati naik.
Pidato Presiden Jokowi pada Agustus 2020 yang menyampaikan komitmen Indonesia untuk terus melaksanakan program biodiesel dalam negeri ikut mempertahankan tren naik harga minyak nabati. Harga yang baik pada awal 2020 memungkinkan pekebun memupuk dan memulihkan kebunnya sehingga dengan didukung cuaca yang mendukung terjadi kenaikan produksi CPO dan minyak kernel (PKO) rata-rata Januari-Juni 2020 sebesar 3,92 juta ton meningkat menjadi 4,68 juta ton untuk rata-rata Juli-Des 2020. Bersamaan dengan kenaikan produksi tersebut, harga CPO dan minyak nabati melonjak dari rata-rata US$ 646 per ton pada semester 1-2020 menjadi US$ 775 per ton pada semester 11-2020.
Di pasar domestik, kebijakan pembatasan skala besar (PSBB) akibat Covid-19 menyebabkan penurunan konsumsi untuk pangan pada 2020 yakni dari 801 ribu ton pada Januari menjadi 638 ribu ton pada Juni 2020. Pelonggaran pembatasan menaikan kembali konsumsi ke level 723 ribu ton pada Desember 2020. Konsumsi untuk oleokimia naik terus karena meningkatnya konsumsi sabun dan bahan pembersih dari 89 ribu ton pada Januari menjadi 197 ribu ton pada Desember 2020. Konsumsi untuk biodiesel naik dari 2019 karena perubahan kebijakan dari B20 menjadi B30. Secara total, konsumsi produk minyak sawit dalam negeri pada 2020 mencapai 17,35 juta ton atau naik 3,60% dari 2019 yang sebesar 16,75 juta ton.
Tahun Harapan
Joko Supriyono mengatakan, industri sawit nasional akan membaik secara perlahan tahun ini karena adanya vaksin, meski pengaruh Covid-19 belum berakhir tetapi ada harapan perbaikan. Produksi minyak sawit RI pada 2021 diyakini naik signifikan karena pemeliharaan kebun lebih baik, cuaca mendukung, dan harga semakin menarik, produksi CPO 49 juta ton dan PKO 4,65 juta ton serta harga CPO US$ 775-845 per ton dan berpeluang menembus US$ 900 per ton. Tahun ini, harga CPO mungkin rebound karena perekonomian Tiongkok sudah pulih dan vaksinasi berjalan, terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden baru AS juga mempengaruhi pergerakan harga komoditas tersebut.
Dengan komitmen pemerintah melanjutkan program B30, konsumsi biodiesel tahun ini bisa mencapai 9,20 juta kiloliter (kl) atau setara 8 juta ton minyak sawit, penggunaan sawit untuk oleokimia 2 juta ton untuk domestik dan 4,50 juta ton untuk ekspor. Permintaan minyak nabati dunia sangat tergantung keberhasilan vaksin Covid-19 yang bisa meningkatkan aktivitas ekonomi sehingga memasu konsumsi minyak nabati termasuk sawit. Di sisi lain, banyak negara yang karena alasan ekonomi terpaksa lebih terbuka. “Ekspor sawit sangat tergantung vaksin, apakah bisa menyebar di sebagian besar wilayah tujuan ekspor. Jika vaksinasi cepat dilakukan maka pasar recovery meski belum setinggi dua tahun sebelumnya. Tahun ini, pasar ekspor sudah ada titik cerah, volume ekspor tahun ini bisa 37 juta ton,” jelas Joko.
Faktor yang bisa mengganggu permintaan minyak nabati termasuk sawit antara lain berjangkitnya kembali Covid-19 di Tiongkok maupun negara lain dan juga maraknya African Swine Fever yang mempengaruhi permintaan oilseed dan oilmeal. “2021 merupakan awal kebangkitan dan pemulihan ekonomi, bukan hanya industri sawit tapi dan berharap semua sektor akan kembali tumbuh positif,” ujar dia. Beberapa isu penting dan menjadi fokus kegiatan Gapki tahun ini adalah penerapan dan pengawalan implementasi UU Cipta Kerja dan peraturan perundangan turunannya, penguatan penerapan sustainability melalui percepatan dan penyelesaian sertifikat sawit lestari Indonesia (ISPO) bagi anggota Gapki, dan penguatan kemitraan untuk peningkatan percepatan peremajaan sawit rakyat (PSR).
Sumber: Investor Daily Indonesia