Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mendorong pemerintah agar menaikkan tarif ekspor dari minyak yang berasal dari limbah cair kelapa sawit, kini disebut  palm oil mill effluent (POME) dengan HS 2306.60.90 dan HS 2306.90.90 . Alasannya, POME adalah juga produk hulu ( produk samping sawit ) yang kini digandrungi oleh pasar Eropa untuk biofuel dan produk makanan di luar negeri dengan tarif pungutan ekspornya hanya US$5 per ton.
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mendorong pemerintah agar menaikkan tarif ekspor dari minyak yang berasal dari limbah cair kelapa sawit, kini disebut palm oil mill effluent (POME) dengan HS 2306.60.90 dan HS 2306.90.90 . Alasannya, POME adalah juga produk hulu ( produk samping sawit ) yang kini digandrungi oleh pasar Eropa untuk biofuel dan produk makanan di luar negeri dengan tarif pungutan ekspornya hanya US$5 per ton.

 

Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga menjelaskan bahwa pemerintah seharusnya memberlakukan POME sama dengan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang biaya ekspornya kini US$113 per ton. Dengan tarif POME yang rendah tersebut, Sahat mengatakan bahwa banyak pihak , termasuk pihak luar yang menikmati keuntungan ratusan dolar per ton dari POME. Informasi yang diperoleh GIMNI, bahwa ekspor POME Indonesia itu berkisar 1,5 – 1,7 juta ton pada 2023.

“Kenapa pajaknya US$5 (pungutan ekspor/PE). Sedangkan CPO kalau tidak salah US$98 PE-nya, BK [bea keluar] US$15. Jadi US$113  dibawah harga Ekspor dibandingkan POME hanya US$5. Siapa yang menikmati duit ini? Padahal kualitasnya sama – sama produk hulu. Ini bukan produk downstream. Kok Indonesia ini happy – happy saja?” ujar Sahat di Kantor Asosiasi Produsen Bioefuel Indonesia (APROBI) di Jakarta, Kamis (21/3/2024).

Menurut Plt Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia itu, Indonesia telah kecolongan lantaran POME saat ini telah diekspor ke Eropa dengan harga murah. Hal tersebut, ujar Sahat, tentunya sangat diidam -i damkan pengusaha biofuel negara benua biru di tengah ekspor CPO dan minyak jelantah (used cooking oil/UCO) Indonesia yang terus merosot dan sekaligus mampu menekan ekspor minyak sawit Indonesia.

“Ekspor CPO tidak berjalan, nah fenomena ini ada kecenderungan negara lain menghancurkan minyak sawit Indonesia yang selama ini menguasai pasar global. POME ini by produk, hasil samping sehingga emisi karbonnya rendah, dan inilah alasan utama negara biru itu menyukai POME ini .Bentuknya nanti minyak bisa dibuat untuk biodiesel. Besar kemungkinan bahwa POME ini juga diproses untuk bahan makan juga POME ini,” jelas Sahat.

“Jadi industri biofuel Eropa mengidam – idamkan minyak kotor ini termasuk UCO untuk bahan bakar. Dan itu subsidi gede makanya harganya POME lebih tinggi dibanding CPO. Bayangkan selisih beban ekspor ,POME. dapat memberi kenikmatan US$108 per ton bagi berbagai pihak (bukan Negara Indonesia) . Cuankan. Siapa yang pemeran utama belakang ini?”

Untuk itu, dia berharap pemerintah segera memberlakukan ekspor POME sama seperti CPO maupun UCO dalam ketentuan. Dimana, POME harus perlakukan seperti kedua produk tersebut dengan wajib memenuhi domestik market obligation (DMO).

“Kenapa UCO harus dikaitkan dengan DMO, kenapa POME engga? Pada hal sama – sama hulu. Jadi proposal saya segera berlakukan POME masukke 4 bahan yang terkait dengan domestik market obligation. Jadi ketika mengirim [ekspor], tapi juga memasok minyak goreng kedalam negeri,” ujar Sahat.

“Karena sifatnya hulu, kenakan PE dan BK sama dengan CPO. Supaya fair. Kita menganut konsep sama di republik untuk hilirisasi. Jangan POME di hulu dianggap hilir. Dimana keadilan bumi ini?,” tururnya.

Selain itu, Sahat meminta agar pemerintah juga mewajibkan para eksportir POME terdaftar. Terkait POME tersebut, dia mengaku sudah mengadukannya ke Menteri Perdagangan 6 bulan lalu.

“Supaya di-trace you dimana dapatnya. Ada dua jenis, ada riil POME, tidak ada 260 juta liter. Karena ngambilnya harus teknologi skim belt. Berapa perusahaan di republik ini yang punya teknologi itu? Mungkin hanya ada 5. Dulu pernah saya pakai. Skim belt itu impor dari Norwegia,” tambah Sahat.

(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 149)

sumber: https://sawitindonesia.com/gimni-usul-tarif-ekspor-pome-dinaikkan/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *