
Harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil atau CPO) baru-baru ini mengalami penurunan signifikan, mencapai titik terendah dalam dua minggu terakhir, yang memicu kekhawatiran di kalangan pelaku industri sawit Indonesia dan Malaysia. Penurunan ini terjadi meskipun ekspor CPO dan konsumsi biodiesel meningkat, menunjukkan adanya tekanan eksternal yang kuat dari pasar global. Artikel ini akan membahas secara mendalam penyebab utama anjloknya harga CPO, dampaknya terhadap ekonomi, serta prospek ke depan untuk membantu pembaca memahami dinamika harga minyak sawit.
Penyebab Utama Penurunan Harga CPO
Salah satu biang kerok utama di balik anjloknya harga CPO adalah pelemahan harga minyak nabati kompetitor di pasar internasional. Pada 22 Oktober 2025, harga CPO di Bursa Malaysia untuk kontrak pengiriman Januari 2026 ditutup pada level MYR 4.454 per ton, turun 1,13% dari hari sebelumnya. Penurunan ini sejalan dengan koreksi harga minyak kedelai di bursa Dalian, China, yang merosot 0,99% pada periode yang sama, membuat CPO kurang kompetitif karena bisa digantikan oleh alternatif yang lebih murah.
Faktor lain yang memperburuk situasi adalah peningkatan stok minyak sawit di Malaysia, negara produsen terbesar kedua setelah Indonesia. Laporan Malaysian Palm Oil Board (MPOB) menunjukkan stok minyak sawit Malaysia pada September 2025 naik 7,2% menjadi 2,36 juta ton, level tertinggi dalam dua tahun terakhir. Kelebihan pasokan ini menekan harga, meskipun produksi global secara keseluruhan dipengaruhi oleh ketidakpastian seperti perang di Ukraina yang mengganggu pasokan minyak nabati secara keseluruhan.
Selain itu, permintaan dari pasar utama seperti India dan China mengalami fluktuasi yang tidak menguntungkan. Penurunan permintaan dari India, yang sensitif terhadap inflasi pangan menjelang pemilu, menyebabkan pembatasan ekspor dari Indonesia sebagai pemasok terbesar. Di sisi lain, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga berperan, di mana penguatan rupiah membuat ekspor CPO Indonesia terasa lebih mahal di pasar global, sehingga menekan permintaan.
Dampak Ekonomi bagi Industri Sawit Indonesia
Penurunan harga CPO tidak hanya memengaruhi eksportir besar, tetapi juga petani kecil di Indonesia yang bergantung pada komoditas ini. Dengan harga referensi CPO yang terus melemah sepanjang 2025, seperti penurunan 9,82% pada Februari menjadi US$955,44 per metrik ton, bea keluar dan pungutan ekspor disesuaikan untuk menjaga keseimbangan. Hal ini berpotensi menurunkan pendapatan petani, meskipun konsumsi biodiesel domestik naik dan mendukung permintaan internal.
Di tingkat global, anjloknya harga CPO memperlemah daya saing Indonesia sebagai produsen terbesar dunia, dengan ekspor yang turun hingga 23% pada awal 2025 dibandingkan periode sebelumnya. Namun, peningkatan permintaan dari China sebesar 19,76% sepanjang 2024 memberikan sedikit harapan, meskipun ketergantungan pada satu pasar menimbulkan risiko diversifikasi yang rendah. Secara keseluruhan, faktor seperti regulasi lingkungan di Uni Eropa yang membatasi penggunaan CPO untuk biodiesel semakin memperburuk posisi komoditas ini di pasar internasional.
Prospek dan Strategi Mengatasi Penurunan Harga CPO
Meskipun tantangan saat ini terlihat berat, prospek harga CPO di akhir 2025 dan 2026 diprediksi stabil jika produksi global terkendali akibat cuaca ekstrem seperti El Nino. Pemerintah Indonesia telah menyesuaikan kebijakan, seperti menetapkan bea keluar US$124 per MT untuk Februari 2025, untuk melindungi stok domestik dan mendukung biodiesel B35. Diversifikasi pasar ke Afrika dan Amerika Latin bisa menjadi strategi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada Asia.
Bagi pelaku usaha, memantau harga minyak mentah dunia tetap krusial karena CPO sering berkorelasi dengannya, terutama untuk produksi biodiesel. Dengan produksi yang diproyeksikan naik namun ekspor anjlok, industri sawit perlu inovasi seperti peningkatan efisiensi perkebunan untuk menjaga profitabilitas. Secara keseluruhan, pemahaman mendalam tentang biang kerok ini akan membantu stakeholder mengantisipasi fluktuasi harga CPO ke depan.