JAKARTA, KOMPAS – Harga minyak sawit teras naik beberapa bulan terakhir dan mencapai angka tertinggi, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, pada awal 2021. Prospek produksi dan ekspor minyak sawit serta produk turunannya diprediksi terjaga seiring permintaan yang menguat di pasar dunia.
Mengutip data Trading Economics, harga kontrak minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) berjangka di Bursa Malaysia mencapai lebih dari 3.750 ringgit per ton sejak awal Januari 2021. Angka ini belum pernah terjadi sejak Februari 2011. Pada Kamis (7/1/2021), perdagangan CPO ditutup pada angka 3.817 ringgit per ton.
Kenaikan harga CPO terjadi bersamaan dengan kenaikan harga minyak nabati lain, yaitu minyak kedelai, terutama didorong permintaan yang tinggi dari China Selain itu, kenaikan dipengaruhi pula oleh pasokan yang terganggu La Nina.
Direktur Eksekutif Gabung-* an Pengusahakelapa sawitIndonesia (Gapki) Mukti Sardjono, Kamis, mengatakan, tren harga di pasar dunia yang teras membaik bisa mendorong produksi minyak sawit dalam negeri. Pekebun lebih bersemangat memperbaiki produksi sehingga produksi diperkirakan meningkat tahun ini.
Selain produksi yang membaik, ia memprediksi ekspor CPO Indonesia tahun 2021 akan meningkat. “Dengan tren saat ini, ekspor masih akan bagus karena Covid-19 belum berakhir sehingga kebutuhan memproduksi cairan penyani-tasi dan produk oleokimia lain juga masih tinggi,” ujarnya.
Kenaikan harga dan permintaan dunia juga membuat peran ekspor sawit signifikan bagi neraca perdagangan Indonesia di triwulan 1-2021. Sebelumnya,
Gapki memprediksi, produksi CPO 2021 akan mencapai 49 juta ton dan menyumbang devisa ekspor di kisaran 20 miliar dollar AS. Sementara itu, ekspor CPO Indonesia tahun ini diperkirakan 7,5 juta ton (Kompas, 4/12/2020).
Badan Pusat Statistik mencatat, pada Januari-Oktober 2020, ekspor minyakkelapa sawitIndonesia mencapai 14,003 miliar dollar AS, naik 13,63 persen dibandingkan periode yang sama 2019 dengan nilai ekspor 12,32 miliar dollar AS. Ekspor minyakkelapa sawitberperan hingga 11,2 persen terhadap ekspor nonmigas pada periode tersebut
Bea keluar
Seiring naiknya harga minyak sawit, harga referensi CPO untuk penetapan bea keluar periode Januari 2021 ikut naik. Harga referensi itu 951,86 dollar AS per ton, naik 9,31 persen dibandingkan periode Desember 2020 yang 870,77 dollar AS per ton.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Didi Sumedi mengatakan, dengan kenaikan harga referensi, bea keluar CPO ikut naik. “Saat ini, harga referensi CPO telah jauh melampaui batas 750 dollar AS per ton. Karena itu, pemerintah mengenakan bea keluar 74 dollar AS per ton untuk periode Januari 2021,” katanya dalam keterangan tertulis.
Nilai bea keluar CPO Januari 2021 naik cukup signifikan dibandingkan Desember 2020 yang 33 dollar AS per ton. Penetapan- itu mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 166/PMK.010/2020. Menurut Didi, peningkatan harga referensi dan bea keluar CPO disebabkan oleh menguatnya harga CPO dunia.
Selain bea keluar, pemerintah juga sebelumnya telah menerbitkan aturan baru terkait skema pungutan ekspor produkkelapa sawitlewat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191 Tahun 2020. Tarif pungutan ekspor diberlakukan progresif. Tarif 55 dollar AS per ton berlaku ketika harga CPO setara 670 dollar AS per ton atau lebih rendah.
Pungutan naik jadi 60 dollar AS per ton jika harga CPO di atas 670-695 dollar AS per ton dan menjadi 75 dollar AS per ton jika harga CPO di kisaran 696-720 dollar AS per ton. Adapun jika harga CPO teras naik 25 dollar AS per ton, nilai pungutan akan bertahap1 naik 15 dollar AS per ton. Terkait itu, Mukti berharap kebijakan tarif dan pungutan ekspor tersebut tidak sampai memberatkan pelaku usaha dan produsen sawit
Target batubara
Produksi batubara ditargetkan 550 juta ton tahun ini. Namun, jika harganya dinilai cukup menarik di pasar ekspor, pemerintah akan mengevaluasi target produksi. Tahun lalu, produksi batubara ditargetkan 550 juta ton, tetapi realisasinya 558 juta ton.
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, harga batubara pada awal 2021 yang lebih tinggi dari rerata harga 2020, terutama disebabkan oleh meningkatnya permintaan dari sejumlah negara yang mengindikasikan ada pemulihan ekonomi.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, mengatakan, pemerintan sebaiknya konsisten dengan pembatasan produksi 400 juta ton per tahun. Produksi yang digenjot lebih tinggi dikhawatirkan mengganggu daya dukung lahan.
Sumber: Kompas