JAKARTA – Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan Indonesia memenangi sengketa biodiesel dengan Uni Eropa (UE). Putusan Panel Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memenangkan enam gugatan Indonesia atas Uni Eropa.

Panel Badan Penyelesaian Sengketa WTO melihat bahwa Uni Eropa tidak konsisten dengan peraturan Perjanjian Anti-Dumping WTO selama proses penyelidikan hingga penetapan bea masuk anti-dumping (BMAD) atas impor biodiesel dari Indonesia. Enggar mengatakan kemenangan ini menjadi pembuka akses ekspor biodiesel ke Uni Eropa. “Ini kemenangan telak, setelah sempat mengalami kelesuan akibat pengenaan bea masuk anti-dumping,” kata dia, kemarin.

Enggar mengatakan Uni Eropa mengenakan BMAD terhadap produk biodiesel Indonesia sejak 2013 dengan margin dumping 8,8-23,3 persen. Sejak itu, ekspor biodiesel Indonesia ke Eropa menurun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2013-2016, ekspor biodiesel Indonesia ke Eropa turun 42,84 persen, dari US$ 649 juta menjadi US$ 150 juta.

Menurut Enggar, tren ekspor biodiesel Indonesia ke Eropa pada periode sejak pengenaan BMAD sampai dikeluarkannya putusan Badan Penyelesaian Sengketa WTO sebesar 7 persen. Jika tren ekspor biodiesel ke Eropa bisa naik dalam dua tahun, Indonesia dapat memperoleh pendapatan US$ 386 juta pada 2019 dan US$ 1,7 miliar pada 2022.

Dua pekan lalu, pemerintan Malaysia, Indonesia, dan Thailand menyiapkan respons keras atas perilaku diskriminatif Uni Eropa terhadap industri minyak sawit. Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia, Datuk Seri Mah Siew Keong, mengatakan reaksi balasan akan diberikan jika isu mengenai minyak sawit sudah masuk ke ranah legislatif dan menjadi regulasi.

“Jika kampanye kebencian dan kebijakan diskriminatif terhadap minyak sawit terus berlanjut, kami juga bisa membalas. Ingat, Malaysia, Indonesia, dan Thailand secara kolektif merupakan pembeli besar produk Uni Eropa,” kata Mah, seperti dikutip New Straits Times.

Pada 4 April 2017, Parlemen Uni Eropa membuat sebuah resolusi untuk memperkenalkan skema sertifikasi minyak sawit yang boleh masuk ke kawasan itu. Uni Eropa juga akan menghapus penggunaan biodiesel berbasis minyak sawit pada akhir 2020. Mah menilai politik perdagangan Uni Eropa mirip dengan politik apartheid di Afrika Selatan yang sarat muatan rasisme. Dia menyebutkan Parlemen Uni Eropa telah membangun hambatan perdagangan dan berisiko melanggar komitmen yang disepakati sebagai anggota WTO.

 

Sumber: Koran Tempo