JAKARTA. Pemerintah mengaku akan terus mengembangan industri turunan minyak sawit. Pengembangan ini dilakukan karena potensi Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Dengan pengembangan produk turunan, maka nilai tambah sawit akan makin besar.

Kementerian Perindustrian (Kemperin) mencatat, pengembangan industri hilir minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dalam negeri dalam tren positif. Ini terlihat dari pergeseran ratio ekspor dari sebelumnya 70% ekspor CPO dari produk hulu dan 30% saja yang produk hilir. Saat ini berbalik menjadi 70% ekspor minyak sawit merupakan turunan CPO, dan 30% merupakan CPO.

Perubahan itu terjadi setelah pemerintah menggunakan instrumen kebijakan fiskal tarif bea keluar progresif sejak tahun 2011, disusul kebijakan dana perkebunan tahun 2015.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto mengatakan, pada tahun 2016, Indonesia menguasai 52% pangsa pasar ekspor CPO. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai eksportir CPO terbesar di dunia. Ia memperkirakan ekspor CPO dan turunannya terus meningkat seiring dengan peningkatan produksi dalam negeri.

“Kami memperkirakan pada tahun 2020, produksi CPO nasional mencapai 42 juta ton, dan ini perlu diikuti pertambahan kapasitas produksi industri hilirnya di dalam negeri,” ujarnya usai peresmian pabrik oleokimia Sinar Mas Cepsa, pekan lalu.

Pada tahun 2016 total produksi CPO Indonesia 35 juta ton dan sebanyak 25 juta ton diekspor senilai US$ 18 miliar. Itu berarti Indonesia menguasai 52% pasar ekspor CPO.

Batasi Impor

Chainnan dan CEO Sinar Mas Agribusiness and Ford, Franky O Widjaja mengatakan, pembangunan pabrik oleokimia di Dumai, Riau di bawah bendera usaha Sinar Mas Cepsa Pte.Ltd merupakan salah satu upaya Sinar Mas Grup meningkatkan nilai tambah produk CPO. Nantinya, hasil olahan oleokimia ini akan dipasarkan di Eropa dan Asia dalam bentuk produk kosmetik, sampo, sabun, dan sejenisnya. “Jadi produk ini nantinya berorientasi ekspor sekitar 80% dan sisanya di pasar domestik,” tandasnya.

Pabrik Sinar Mas Cepsa memiliki kapasitas produksi sebesar 200.000 ton palm kernel oil (PKO) yang akan menghasilkan 160.000 ton alkohol lemak, 20.000 ton glise-rin dan sebanyak 20.000 ton fatty acid per tahun.

Direktur Eksekutif Dewan Minyak sawit Indonesia (DMSI) Iskandar Andi Nunung mengatakan, pengembangan industri hilir kelapa sawit di Indonesia termasuk sukses. Sebab saat ini, ekspor turunan CPO sudah melampaui ekspor CPO sendiri.

Selain memberikan nilai tambah, hilirisasi CPO juga bisa membatasi impor produk olahan CPO dari negara lain. Apalagi harga barang impor produk olahan CPO tersebut lebih mahal dibandingkan nilai ekspor CPO Indonesia

“Selama ini produk olahan CPO itu kita impor. Kalau industri hilirnya berkembang maka impor tidak perlu lagi,” tutur Andi. Namun ia mengingatkan agar pemerintah tidak terlena dengan pengembangan industri hilir CPO dalam negeri. Sebab negara lain tetap saja mencari cara untuk membendung ekspor produk turunan CPO.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN) Rapolo Hutabarat menambahkan, akan ada tantangan ekspor produk turunan CPO, terlebih oleokimia. Salah satunya kebijakan Pemerintah India yang menaikkan bea masuk impor sebesar dua kali lipat untuk produk minyak sawit Indonesia serta produk turunan CPO. “Bea masuk impor CPO naik menjadi 15% dari 7,5%, sementara bea masuk oleokimia meningkat jadi 25% dari sebelumnya 12,5%,terangnya.

Noverius Laoli, Lidya Yuniartha Panjaitan

Sumber: Harian Kontan