untuk menjaga kelapa sawit berkelanjutan sesuai dengan pengelolaan ramah lingkungan. “ISPO memiliki kekuatan yang dapat dijadikan basis membangun perilaku bangsa sawit Indonesia. Membentuk perilaku memang memerlukan proses,” jelas Kacuk, saat menjadi pe“ISPO memiliki kekuatan yang dapat dijadikan basis membangun perilaku bangsa sawit Indonesia,” kata Kacuk Sumarto dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
Menurut Kacuk Sumarto, menanggapi isu-isu negatif yang ditujukan pada kelapa sawit tidak perlu berlebihan atau heboh. Isu tersebut muncul karena ada kepentingan dagang dari negara-negara maju supaya negara berkembang jatuh miskin maka industri kelapa sawit disesatkan, diskriminasi dan diberikan banyak hambatan.
“Jika sudah mengarah pada diskriminasi baru melakukan perlawanan-perlawanan,” tegas Kacuk Sumanto, Ketua Bidang Otonomi Daerah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) saat seminar ISPO, di Jakarta.
Kebijakan ISPO yang sudah ada sejak 2011 dan saat ini dalam proses penyempurnaan diharapkan dapat menjawab isu negatif dengan tujuh prinsip dan kriteria yang ada yaitu Sistem Perizinan dan Manajemen Perkebunan, Penerapan Pedoman Teknis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit, Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan, Tanggung Jawab Terhadap Pekerja, Tanggung Jawab Sosial dan Komunitas, Pemberdayaan Kegiatan Ekonomi Lingkungan dan Peningkatan Usaha Secara Berkelanjutan.
“GAPKI mendukung penerapan ISPO karena dapat menjawab dan menangkal isu-isu negatif yang ditujukan pada kelapa sawit,” ujar Kacuk.
Lebih lanjut, Kacuk menjelaskan poin pertama dari tujuh prinsip dan kriteria ISPO yaitu sistem perizinan (legalitas) yang sebagian besar tidak menggunakan Permenhut no P.14/II/tahun 2004 mengenai disfungsi hutan yaitu ada tiga hal, pertama luas lahan 25 lebih besar 0,25 hektar tutupan di atas 30% tingginya 5 meter, bagi pelaku sawit masuk lahan yang ada masuk pada kategori hutan.
“Jika sawit dimasukan dalam definisi hutan, sebagian besar persoalan pada aspek legalitas yang yang harus dituntut karena persoalannya ada pada aspek ini. Kemudian terkait dengan Hak Guna Usaha (HGU), anggota GAPKI yang ada di SUmatera Utara, lahannya sudah HGU tapi masuk pada Kawasan HUtan. Ini contoh persoalan yang ada pada legalitas yang ada,” tambah Kacuk.
pihaknya mendukung penuh penguatan ISPO. Oleh karena itu, perlu dibangun kolaborasi dengan semua pihak.
Dia berharap, sertifikasi ISPO digunakan untuk membentuk perilaku pelaku industri sawit. “Untuk itu, sekarang tinggal proses mendapatkan sertifikasi ISPO dapat dipercepat,” ujarnya.
Diakuinya, negara konsumen meminta banyak standar, utamanya dari aspek lingkungan, kesehatan, hak asasi manusia. Namun adanya unsur kepentingan dagang dan hegemoni negara maju, mengakibatkan sawit diperlakukan tidak adil, seperti tindakan diskriminasi dan hambatan perdagangan. “Oleh karena itu ISPO harus mampu menjawab tantangan itu,” ujarnya.
Kemudian, yang berikutnya ISPO tidak sekedar sertifikasi. Saat ini sudah 346 sertifikasi yang sudah diterbitkan. Kebijakan ISPO yang ada untuk membangun perilaku bangsa. Tidak hanya mengikuti proses-proses namun yang terpenting dapat membangun dan membentuk perilaku bangsa mbicara Seminar ISPO.
Tidak hanya itu, Kacuk juga menyampaikan agar kebijakan ISPO dapat dijalankan maka perlu kesungguhan dari pembuat regulasi, sebenarnya pemerintah mau menyelesaikan persoalan ini atau tidak? Kalau pemerintah tidak punya keseriusan untuk menyelesaikan, keseriusan harus diikuti dengan tindakan-tindakan penyelesaian.
Terbitnya Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 11/Permentan/ot.140/3/2015 Tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia dan ISPO diharapkan dapat mengakomodir pelaku usaha di sektor industri kelapa sawit baik pengusaha maupun petani sawit (plasma dan swadaya).
Sumber: Sawitindonesia.com