Tahun ini, industri sawit di Indonesia mempunyai dua isu utama: peremajaan sawit rakyat dan biodiesel. Kedua isu ini kerap kali menghiasi wajah media cetak dan nasional.

Isu peremajaan terus disorot karena melibatkan 1 juta hektare (ha) perkebun sawit rakyat di seluruh Indonesia. Usia tanaman petani yang sudah uzur mengakibatkan produktivitas minyak sawitnya di bawah rata-rata sekira 1,5-2 ton per ha per tahun.

Tantangan terberat adalah masalah pendanaan replanting dan legalitas lahan. Rerata kebutuhan dana antara Rp 50 juta-Rp 55 juta per ha sampai tanaman menghasilkan kembali dalam kurun waktu empat tahun. Belum lagi masalah legalitas lahan yang menjadi hambatan untuk mendapatkan pembiayaan dari perbankan. Kalaupun ingin memperoleh kredit, petani perlu mencari perusahaan yang berfungsi menjadi avalis (penjamin).

Lahirnya Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang dimulai semenjak 2017 menjadi instrumen untuk membantu pembiayaan dan meningkatkan produktivitas petani. Biaya peremajaan sawit rakyat diambil dana pungutan sawit. Dana ini dikelola dan dihimpun oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit. Setiap petani peserta PSR memperoleh hibah sebesar Rp 25 juta/ha.

Kendati demikian, PSR belum berjalan maksimal di daerah. Realisasi PSR baru 33.671 ha atau sekitar 18,2% per 14 Desember 2018 merujuk data Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI. Jauh di bawah target peremajaan mencapai 185 ribu ha.

“Sampai Januari 2019, diharapkan dapat naik menjadi 63.347 hektar. Karena sudah ada 85 rekomtek (red-rekomendasi teknis) dalam proses verifikasi di 16 kabupaten dan 10 provinsi,” ujar Bambang, Dirjen Perkebunan, dalam diskusi “Membenahi Tata Kelola Sawit Nasional” di Jakarta, pada pertengahan Desember 2018.

Seretnya program PSR disebabkan kompleksnya prosedur pendanaan. Di sisi lain, kebun milik petani terhambat masalah legalitas dan status lahan. Arahan Presiden Jokowi supaya kebun peserta PSR yang berada di kawasan hutan untuk segera dilepaskan, belum berjalan maksimal di lapangan.

Komunikasi antar kementerian, lembaga negara sampai pemerintahan daerah kurang tertata baik. Antar instansi masih memainkan ego sektoral. Yang sangat disayangkan, saling lempar tanggung jawab antar lembaga negara masih terjadi.

Untuk itu, komunikasi dan kerjasama antar kementerian/lembaga terkait PSR seharusnya dibenahi. Update perkembangan replanting perlu diketahui setiap bulan, ketika ada sumbatan butuh solusi kebijakan yang bersifat berani dan cepat.

Presiden Jokowi telah meminta prosedur peremajaan disederhanakan. Intinya, jangan terlalu ribet dan mudah dipenuhi petani. Yang menjadi pertanyaan, mampukah kementerian/lembaga terkait menjabarkan keinginan Presiden? Inilah tugas yang perlu diselesaikan pada 2019, supaya petani sawit merasakan kehadiran negara di kebun mereka.

Sementara itu, mandatori B20 berjalan luar biasa. Presiden Jokowi sukses menjalankan program energi terbarukan terutama biodiesel. Kewajiban penggunaan biodiesel 20% atau B20 berdampak positif untuk penghematan devisa dan ketergantungan impor minyak bumi.

Merujuk data Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi), produksi biodiesel dari Januari-Oktober 2018 menembus angka 5.988.813 Kiloliter (Kl). Terdiri dari konsumsi domestik berjumlah 3.329.896 Kl dan ekspor sebesar 1.285.430 Kl.

Produksi biodiesel tahun ini melesat  80% dibandingkan periode Januari-November 2017 sebesar 3,1 juta Kl. Perluasan mandatori ke seluruh lini baik PSO dan non PSO berjalan bagus. Pemerintah bersikap tegas kepada badan usaha yang mengabaikan mandatori.

Ada fenomena menarik pasca berhasilnya B20. Badan usaha seperti Pertamina menjajaki pengolahan minyak sawit menjadi bahan bakar seperti gasoline dan green diesel. Melimpahnya minyak sawit di dalam negeri adalah peluang menghasilkan bahak bakar ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Pun, PLN menjajaki minyak sawit untuk menghasilkan listrik bagi rakyat. Berkaca dari langkah sejumlah negara Eropa yang lebih dulu memanfaatkan minyak sawit untuk dibakar menjadi listrik.

Membaiknya harga sawit di awal 2019, diharapkan membawa sentimen positif kepada industri. Terutama bagi petani yang pendapatannya merosot tajam selama empat bulan lamanya di penghujung 2018.

Pada 2018, kontribusi sawit bagi devisa negara diperkirakan menurun. Penyebab utama adalah rendahnya harga. Selain itu, hambatan dagang di negara tujuan utama seperti India dan Eropa menekan volume ekspor. Nilai ekspor sawit diperkirakan US$ 18 miliar-US$ 20 miliar pada 2018.

 

Sumber: Sawitindonesia.com