JAKARTA- Kementerian Perdagangan akan tetap memprioritaskan kebutuhan minyak goreng (migor) dalam negeri terkait kebijakan domestic market obligation (DMO) minyak sawit. Wacana pencabutan kebijakan DMO mencuat setelah Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengemukakan rencana tersebut. Pelaku usaha pun mendukung adanya penghapusan DMO untuk memperlancar ekspor.
Meski demikian, Staf Khusus Menteri Perdagangan Oke Nurwan menjelaskan, Kemendag tetap membutuhkan komitmen pelaku usaha untuk memastikan keamanan pasokan minyak sawit, khususnya untuk minyak goreng di pasar domestik. “Komitmen itu yang ditunggu Menteri (Zulkifli Hasan) untuk memastikan pasokan dalam negeri ada dulu,” kata Oke dalam sebuah diskusi, Senin (25/7).
Menurut Oke, arahan Presiden .Joko Widodo juga fokus pada prioritas kebutuhan masyarakat untuk minyak goreng. Takhanya pasokan yang tersedia, tapijuga harga yang terjangkau. Hal itu terutama untuk jenis minyak goreng curah yang dipatok Rp 14 ribu per liter atau Rp 15.500 per kg.
“Setelah ada kepastian dan komitmen pelaku industri, kalau itu sudah terwujud, tidak ada lagi DMO,” ujarnya.
Ditempat terpisah, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyebut, harga minyak gorengcurah di pasar-pasar tradisional sudah berada di angka Rp 14 ribu per liter. Selain itu, menurutnya, harga-harga barang kebutuhan pokok lainnya relatif stabil dan dalam tren menurun.
“Sekarangyangsaya lihat tadi, harga min yak mmh sudah di bawah Rp 14 ribu per liter, berarti harganya rata-rata Rp 13.500 per liter sekarang,” ujar Zulkifli saat mengunjungi Pasai1 Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.Senin (25/7).
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) meminta kepada pemerintah untuk mencabut kebijakan DMO minyak sawit atau CPO. Kebijakan itu diklaim menghambat pelaku usaha untuk melakukan ekspor CPO yang berdampak pada gangguan sistem rantai pasok industri sawit nasional.
“Ekspor bisa bergelinding apabila DMO yang ribet ini dihapuskan,” kata Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga.
DMO merupakan kebijakan yang mewajibkan para eksportir CPO untuk memasok terlebih dahulu kebutuhan dalam negeri. Pasokan DMO tersebut akan digunakan untuk memproduksi minyak gorengcurah. Dalam setiap bulan ditargetkan terdapat 300 ribu ton minyak goreng curah. Pelaku usaha yang telah memenutii DMO kemudian mendapatkan izin kuota ekspor tujuh kali lipat dari volume DMO yang telah digelontorkan.
Sahat mengatakan, kelancaran pelaksanaan DMO sangat bergantung pada distributor lokal. Banyak eksportir CPO yang selama ini tidak memiliki jaringan di pasar domestik sehingga merasa kesulitan melaksanakan DMO.
Sahat menyarankan, setelah DMO dicabut, program pemerintah untuk mengamankan pasokan minyak goreng domestik sebaiknya diberikan kepada BUMN, yakni Perum Bulog dan ID Food. Kedua BUMN tersebut sudah memiliki jaringan hingga ke 34 provinsi di Indonesia
Ia memahami, pemerintah masih mengkhawatirkan jika DMO dicabut akan terjadi kelangkaan CPO dalam negeri Namun, dia menilai, dengan keberadaan BUMN, semestinya program-program pemerintah termasuk stabilisasi harga, tetap bisa berjalan.
Sementara, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menilai, sulitnya ekspor CPO setelah kebijakan larangan ekspor sementara hanya menjadi dalih para pengusaha untuk menekan harga tandan buah segar (TBS). Apkasindo menyebut, ekspor CPO saat ini justru terus mengalami kenaikan dibandingkan tahun lalu.
“Sebenamya Frame yang dibangun selama ini seram. Bahwa setelah larangan ekspor dicabut, tidak ada lagi ekspor CPO dan turunannya. Namun, data menunjukkan ekspor masih berlangsung,” kata Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung.
Sumber: Republika