JAKARTA. Ketidakpastian ekonomi global dan melemahnya kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) berdampak pada kinerja industri kelapa sawit. Sejumlah produsen kelapa sawit, mencatat kan kerugian pada laporan keuangan kuartal III-2018, meskipun pendapatan dan volume ekspor naik.

Misalnya PT Astra Agro Lestari Tbk, mencatat pendapatan periode Januari-September 2018 sebesar Rp 13,76 triliun atau naik 10,16% dari periode sama 2017 sebesar Rp 12,49 triliun. “Secara umum produktivitas kami membaik dan hingga saat ini tidak ada penambahan lahan,” ujar Vice President Communications Astra Agro Tofa Mahdi kepada KONTAN, Selasa (30/10).

Meskipun pendapatan naik, tapi emiten dengan kode saham AALI ini mencatat penurunan laba sebesar 18,22% menjadi Rp 1,12 triliun dibandingkan dengan periode sama 2017 sebesar Rp 1,37 triliun.

Penurunan laba terjadi seiring dengan kenaikan beban produksi yang signifikan. AALI mencatat beban pokok penjualan dan pendapatan di kuartal III-2018 naik 15,97% menjadi Rp 11,12 triliun dari periode sama 2017 yang sebesar Rp 12,49 triliun.

Dalam laporan keuangannya, AALI menyebutkan kenaikan beban produksi disebabkan kenaikan penggunaan bahan baku dan biaya pengolahan, serta kenaikan biaya panen dan pemeliharaan. Kenaikan beban yang signifikan ini menggerus profit emiten, khususnya di sektor beban umum dan administrasi. Kondisi serupa juga dialami PT Sampoerna Agro Tbk. Emiten dengan kode saham SGRO ini mencatat penurunan pendapatan di kuartal III-2018 sebesar 10% menjadi Rp 2,28 triliun dibandingkan dengan periode yag sama 2017 sebesar Rp 2,54 triliun.

Penurunan pendapatan ini berdampak pada tergerusnya laba periode berjalan sebesar 18,31% menjadi Rp 174,67 miliar pada September 2018. Padahal jika dibandingkan dengan periode sama 2017 masih sebesar Rp 213,82 miliar.

Meskipun SGRO mencatat penurunan beban pokok produksi sebesar 8,46% menjadi Rp 1,68 triliun, dari kuartal III 2017 yang sebesar Rp 1,84 triliun, tapi SGRO mencatat peningkatan beban pada sektor produksi Tandan Buah Segar (TBS) yang naik signifikan 16,39% menjadi 782,83 miliar dari periode sama 2017 yang sebesar Rp 672,61 miliar.

Segendang sepenarian, perusahaan sawit lainnya PT Eagle High Plantations Tbk juga mencatat kinerja yang tidak menggembirakan. Berdasarkan laporan keuangannya kuartal III-2018, emiten dengan kode saham BWPT ini mencatat pendapatan Rp 2,36 triliun atau naik 5,82% dari periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 2,23 triliun.

Namun, nasibnya sama dengan perusahaan sawit lainnya, BWPT mencatat kerugian signifikan menjadi Rp 265,71 miliar atau turun 27,15% dibandingkan kerugian kuartal III 2017 yang rugi sebesar Rp 208,97 miliar. Kerugian ini terjadi karena beban perusahaan naik signifikan, terutama akibat selisih kurs rupiah yang terus melemah.

Tertekan kurs rupiah

Chief Financial Officer BWPT Henderi Djunaidi menyatakan, walau volume produksi TBS dan Crude palm oil (CPO) mengalami kenaikan signifikan. Namun, BWPT belum dapat mencatatkan kenaikan pendapatan yang optimal di periode ini.

“Hal ini disebabkan penurunan harga CPO yang cukup tajam di kuartal ketiga ini, dibandingkan dengan harga di kuartal kedua 2018 lalu. Selain itu, pendapatan yang belum optimal ini juga disebabkan adanya penundaan pengiriman penjualan CPO,” ujarnya.

Selain itu, kondisi pelemahan rupiah juga terhadap dolar AS sejak awal tahun hingga akhir September 2018 turut memperbesar kerugian perusahaan. BWPT mencatatkan rugi selisih kurs sebesar Rp 165 miliar. Pasalnya, sekitar 20% dari total hutang BWPT selama ini berdenominasi dolar AS.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat M Sinaga meyebut, tergerusnya laba perusahaan sawit di kuartal III-2018 disebabkan kekalahan persaingan dengan produk sawit Malaysia. Apalagi saat ini, tantangan terhadap ekspor produk CPO dan turunnya juga kian kompetitif.

Sahat mengatakan, meskipun laba sejumlah perusahaan sawit turun dan malah sampai mencatat rugi, tapi sebenarnya ada juga perusahaan yang mengalami kenaikan laba. Hal itu terjadi karena perusahaan tersebut meningkatkan pengolahan CPO. “Pendapatan dan laba mereka naik karena mereka menjual produk sesuai kebutuhan pasar,” ujarnya kepada KONTAN.

Ia menjelaskan, saat ini ekspor minyak goreng sedang turun karena kalah bersaing dengan Malaysia khususnya di sektor bisnis minyak goreng curah. Tapi kalau di sektor minyak goreng kemasan, ekspor mengalami kenaikan. Demikian juga untuk produk minyak sawit olahan lainnya se-perti biodiesel mencatat kenaikan keuntungan.

Selain itu, ia juga mendesak agar biaya pungutan ekspor CPO sebesar US$ 50 per ton dan US$ 20 per ton untuk minyak goreng segera dipangkas. Hal ini menyebabkan harga CPO dan minyak goreng asal Indonesia di pasar ekspor tidak kompetitif dibandingkan produk dari Malaysia.

 

Sumber: Harian Kontan