Industri kelapa sawit mendapat gairah baru dari rencana pemerintah untuk memangkas pungutan ekspor produk minyak sawit mentah dan turunannya. Melalui ketentuan baru yang akan dirilis bulan ini, daya saing crude palm oil (CPO) dalam negeri di pasar global diyakini kembali menguat. Hal itu akan terlihat dari kinerja ekspor yang diperkirakan segera terungkit begitu tarif baru disahkan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha kelapa sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menegaskan pungutan ekspor yang rendah bisa meningkatkan daya saing sawit di pasar internasional.
“Penurunan levy [pungutan ekspor] ini diharapkan memberikan ruang gerak perusahaan untuk berinvestasi dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga menyerap tenaga kerja tambahan. Ini penting saat pemerintah ingin pemulihan ekonomi berjalan lebih cepat,” kata Joko, Rabu (23/6).
Rencana perubahan tarif pungutan ekspor sebelumnya diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada awal pekan ini. Dia menyatakan pemerintah akan menaikkan threshold atau ambang batas harga referensi CPO yang dijadikan acuan pengenaan pungutan ekspor.
Jika dalam Peraturan Menteri Keuangan 191/.05/2020 pungutan ekspor mulai diberlakukan saat harga referensi CPO berada di atas US$670 per ton, maka regulasi baru akan menetapkan harga referensi CPO di atas US$750 sebagai ambang batas.
Tarif pungutan maksimal pun terpangkas dari US$225 per ton menjadi US$175 per ton saja. (Lihat infografik)
Kebijakan tersebut bertujuan untuk mendorong gairah ekspor CPO. Maklum saja, di tengah harga yang melambung dalam beberapa bulan terakhir, sepak terjang CPO dan turunannya asal Indonesia justru cenderung lesu dalam 2 bulan terakhir.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Mei 2021 volume ekspor lemak dan minyak hewan/nabati yang didominasi oleh CPO tercatat sebanyak 2,39 juta ton, turun dibandingkan dengan realisasi ekspor pada 2 bulan sebelumnya, yakni sebanyak 2,93 juta ton dan 2,44 juta ton.
Sebagai gambaran, eksportir harus merogoh biaya tambahan sampai US$399 per ton yang berasal dari akumulasi kewajiban pembayaran pungutan ekspor dan bea keluar.
Per Juni, bea keluar yang dikenakan untuk ekspor adalah US$183 per ton karena harga referensi telah berada pada rentang Rp1.200 sampai US$1,250 per ton. Sementara untuk pungutan ekspor, telah mencapai US$255 per ton karena harga CPO stabil di atas US$995 per ton.
“Peningkatan ekspor sawit sangat penting karena akan menjaga neraca perdagangan Indonesia tetap positif, bahkan surplusnya akan makin besar,” imbuh Joko.
Menanggapi rencana perubahan tarif pungutan ekspor tersebut, Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan periode 2011-2014 sekaligus ekonom pertanian dari IPB, menuturkan perbedaan batas atas pungutan ekspor dari sebelumnya US$995 menjadi US$1,000 tidak terlalu kentara.
Namun, dia tidak memungkiri tarif maksimal pungutan ekspor yang diubah dari US$225 per ton menjadi US$175 per ton akan memberi perbedaan bagi pelaku usaha.
“Perubahan ini tentu akan direspons oleh pasar dengan perhitungan dan negosiasi harga transaksi yang baru. Namun, secara umum akan lebih meringankan pelaku usaha di rantai pasok sawit,” kata dia.
Adapun, untuk penerimaan Badan Pengelola Dana Perkebunan kelapa sawit (BPDP-KS) dari pungutan ekspor yang berisiko berkurang dengan penyesuaian tarif, Bayu menilai kemampuan pembiayaan tetap akan bergantung pada harga bahan bakar fosil serta pergerakan minyak sawit.
BPDP-KS merupakan organisasi pengelola dana perkebunankelapa sawityang bertanggung jawab kepada Menkeu untuk menjalankan program mandatori biodiesel, seperti insentif dan peremajaan kebun sawit rakyat.
Di sisi lain, Bayu mengingatkan risiko koreksi harga CPO dari penurunan harga kedelai dunia saat ini. Biasanya pergerakan harga CPO sejalan dengan harga kedelai.
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menilai rencana pelonggaran tarif tersebut masih belum cukup untuk mendorong untuk produk hilir.
Ketua Umum GIMNI Bernard Riedo mengemukakan ekspor produk sawit Indonesia saat ini telah didominasi oleh produk hilir. Struktur produk hilir diperkirakan mencapai 70% dari total ekspor minyak sawit dan turunannya.
Bernard menilai rencana kenaikan tarif sebesar US$16 per ton untuk setiap kenaikan harga referensi US$50 per ton perlu disesuaikan lagi demi mengakomodasi investasi produk berorientasi ekspor. Menurutnya, perbedaan tarif pungutan antara produk hulu dan hilir harus diperlebar.
“Kami menilai kenaikan tarif US$16 setiap kenaikan harga patokan ekspor US$50 untuk produk turunan sebaiknya diturunkan, setidaknya di US$14 atau lebih rendah guna memberikan daya saing yang lebih bagai industri pengolahan turunan minyak sawit,” kata Bernard.
Sementara itu, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kemendag Kasan Muhri enggan berkomentar banyak terkait rencana penerapan tarif baru pungutan ekspor CPO dan turunannya.
Dia mengatakan besaran pungutan tarif pada harga referensi ambang batas perlu diperjelas karena pada level tersebut bea keluar juga mulai diberlakukan.
“Ada aspek yang belum disampaikan, yakni untuk besaran pungutan pada harga referensi mulai US$750 per ton. Kalau dalam ketentuan bea keluar jelas, jika harga di bawah US$750 per ton, tidak ada pengenaan bea keluar,” ujarnya.
EMITEN SAWIT
Kendati perubahan ketentuan tarif bakal meringankan kalangan eksportir, efeknya belum tentu signifikan terhadap kinerja emiten-emiten perkebunan kelapa sawit.
Analis RHB Sekuritas Andre Benas menuturkan masih ada sejumlah faktor lain yang akan memengaruhi kinerja emiten sawit, salah satunya adalah jumlah penjualan CPO.
“Kalaupun ada penambahan margin, tidak akan besar. Yang penting volume jual CPO-nya stabil,” katanya.
Menurutnya, volume ekspor CPO sebuah emiten akan mampu menutupi pergerakan bearish harga CPO yang tengah terjadi. Hal tersebut akan berimbas pada kinerja penjualan emiten yang optimal.
Adapun, Andre masih memasang outlook netral pada sektor CPO. Salah satu saham yang dinilai masih menarik pada sektor ini adalah PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dengan target harga Rp15.550.
Selain itu, Andre juga merekomendasikan saham PT PP London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP) dengan target harga Rp1.650.
Andre menambahkan saham emiten sawit juga masih dibayangi koreksi harga minyakkelapa sawitmentah yang belakangan terjadi. Menurutnya, penurunan harga CPO biasanya akan diikuti oleh koreksi harga saham. Hal ini karena harga saham emiten akan berbanding lurus dengan harga CPO.
Sumber: Investor Daily Indonesia