Pemerintah tak boleh gegabah dalam menyikapi keputusan Komisi Uni Eropa menghapus bahan bakar berbasis minyak sawit secara bertahap hingga 2030. Rencana pemerintah menggugat kebijakan itu jika kelak disetujui parlemen Uni Eropa bisa saja dilakukan. Tapi langkah ini harus didahului dengan pembenahan industri sawit.
Rencana Uni Eropa melarang penggunaan sawit sebagai bahan bakar nabati dilandasi kajian bahwa keberadaan perkebunan sawit telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran. Riset yang menjadi pegangan Komisi Uni Eropa menyimpulkan bahwa 45 persen ekspansi produksi minyak sawit mentah atau CPO sejak 2008 telah merusak hutan, lahan gambut, dan lahan basah. Produksi sawi tjuga menghasilkan emisi gas rumah kaca secara terus-menerus.
Berbagai organisasi lingkungan melaporkan hal serupa untuk kasus Indonesia. Pertumbuhan pesat industri sawit diiringi dengan dampak buruk: maraknya penggundulan hutan, peningkatan emisi gas rumah kaca, pelanggaran hak asasi manusia, dan pengambilalihan lahan masyarakat adat.
Pada 2018, setidaknya ada 6,9 juta hektare kawasan hutan yang dilepaskan untuk perkebunan sawit. Adapun 3,4 juta hektare kebun sawit disinyalir menerabas kawasan hutan secara ilegal. Selain merusak hutan, perkebunan sawit memicu konflik agraria. Lembaga nirlaba Konsorsium Pembaruan Agraria menemukan ada 144 kasus konflik di sektor perkebunan pada 2018. Dari 144 konflik agraria itu, 83 kasus atau 60 persen terjadi di perkebunan kelapa sawit.
Di sisi lain, harus diakui bahwa industri sawit selama ini menghasilkan devisa tak sedikit bagi Indonesia. Pada 2018, devisa dari sawit mencapai US$ 20,54 miliar atau sekitar Rp 284 triliun. Dari total ekspor sawit ke mancanegara, Eropa merupakan pasar terbesar kedua kita setelah India. Berdasarkan data gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia, jumlah ekspor CPO ke Uni Eropa mencapai 4,78 juta ton atau sekitar 14,92 persen dari total ekspor CPO.
Itu sebabnya rencana pelarangan penggunaan sawit untuk bahan bakar nabati di Eropa perlu disikapi dengan bijak. Kekhawatiran Uni Eropa soal deforestasi dan perubahan iklim harus dijawab dengan serangkaian kebijakan konkret dari pemerintah Indonesia. Presiden Joko Widodo harus berkomitmen untuk memastikan industri sawit tidak merusak lingkungan. Hanya dengan cara itu, Indonesia tak kehilangan pendapatan dari ekspor sawitnya.
Kebijakan moratorium pembukaan lahan perkebunan sawit baru merupakan salah satu contoh respons yang tepat dari pemerintah. Evaluasi atas konsesi perkebunan sawit yang sudah ada perlu dilakukan. Pemerintah harus memberikan sanksi bagi perusahaan yang nyata-nyata melanggar aturan dan merusak lingkungan.
Setelah semua pekerjaan rumah kita membenahi tata kelola industri sawit selesai, barulah lobi gencar ke Uni Eropa bisa efektif. Tanpa adanya penertiban industri sawit, langkah mendekati Pemimpin Vatikan Paus Fransiskus seperti yang dilakukan oleh Menteri Koordinator Kemari timan Luhut Pandjaitan beberapa waktu lalu bisa sia-sia.
Sumber: Koran Tempo