Fenomena pabrik kelapa sawit tanpa kebun kian meresahkan industri sawit Indonesia. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mendesak pemerintah untuk menata ulang sistem perizinan agar tidak merugikan kemitraan yang sudah terjalin antara perusahaan dan petani.
Permasalahan Utama Pabrik Sawit Tanpa Kebun
Ketua Umum GAPKI Eddy Martono menyatakan bahwa kehadiran pabrik kelapa sawit (PKS) tanpa kebun tidak sepenuhnya ditolak, namun perlu pengaturan yang ketat. Beberapa masalah yang ditimbulkan antara lain:
-
Gangguan kemitraan: Petani mitra beralih menjual tandan buah segar (TBS) ke pabrik berondol yang menawarkan harga lebih tinggi
-
Penurunan rendemen: TBS yang dijual tanpa berondol menyebabkan perhitungan harga menjadi tidak akurat
-
Persaingan tidak sehat: PKS tanpa kebun sering berdiri berdekatan dengan pabrik bermitra, menciptakan kompetisi yang merugikan
Dugaan Manipulasi Pajak Ekspor POME
GAPKI mengungkap dugaan upaya manipulasi pajak ekspor melalui Palm Oil Mill Effluent (POME) atau limbah cair kelapa sawit. Ekspor POME melonjak drastis dari 200 ribu ton per tahun menjadi hampir 2 juta ton, dengan pungutan ekspor yang jauh lebih rendah.
Perbandingan pungutan ekspor:
-
POME: 5 dolar AS per ton
-
CPO: hampir 150 dolar AS per ton
Regulasi dan Pengawasan yang Lemah
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013, pabrik kelapa sawit tanpa kebun sendiri wajib menjalin kemitraan dengan petani untuk memenuhi minimal 20% pasokan bahan baku. Namun dalam praktiknya, banyak PKS yang beroperasi tanpa kemitraan yang jelas.
Pakar Ekonomi Universitas Riau Prof. Dr. Almasdi Syahza menekankan pentingnya studi kelayakan yang mempertimbangkan:
-
Jarak antar pabrik
-
Keberadaan kemitraan
-
Daya dukung wilayah
Dampak Negatif bagi Petani dan Industri
Kehadiran pabrik sawit tanpa kebun yang tidak teratur menimbulkan berbagai dampak negatif:
Bagi Petani Plasma
-
Ketidakpastian pasar dan harga
-
Gangguan kontinuitas pasokan ke pabrik mitra
-
Potensi konflik dengan perusahaan yang sudah bermitra
Bagi Industri Sawit
-
Distorsi harga TBS di pasar
-
Penurunan efisiensi operasional pabrik bermitra
-
Kerugian investasi jangka panjang
Fenomena Menjelang Pilkada
Beberapa pengamat mencatat bahwa pemberian izin PKS tanpa kebun cenderung meningkat menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya politisasi dalam proses perizinan.
Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo menyoroti bahaya pembagian izin yang tidak sesuai regulasi dan menekankan perlunya pengawasan ketat dari pemerintah daerah.
Solusi yang Diusulkan
GAPKI mengusulkan beberapa langkah perbaikan:
Penataan Perizinan
-
Evaluasi kebutuhan kapasitas pengolahan di setiap wilayah
-
Verifikasi kemitraan sebelum izin diterbitkan
-
Pengawasan berkala terhadap operasional pabrik
Transparansi Kemitraan
-
Kontrak kemitraan yang jelas dan transparan
-
Pembagian hasil yang adil bagi petani
-
Pembinaan teknis budidaya untuk meningkatkan produktivitas
Penguatan Regulasi
-
Penegakan hukum terhadap pabrik yang melanggar ketentuan
-
Harmonisasi regulasi pusat dan daerah
-
Sanksi tegas bagi pelanggaran perizinan
Respons Pemerintah
Pemerintah telah mulai merespons permasalahan ini melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2025 yang memperketat ekspor POME, HAPOR, dan minyak jelantah untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri dalam negeri.
Kebijakan ini bertujuan mendukung program minyak goreng rakyat dan implementasi biodiesel B40, meskipun menuai kritik dari beberapa kalangan yang menilai akan merugikan petani.
Kesimpulan
Menjamurnya pabrik kelapa sawit tanpa kebun memerlukan penanganan serius dari pemerintah. Penataan sistem perizinan yang ketat dan pengawasan berkelanjutan menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan industri sawit Indonesia sekaligus melindungi kepentingan petani dan perusahaan yang sudah bermitra dengan baik.
Tanpa langkah konkret, fenomena ini berpotensi merusak tatanan industri sawit yang sudah terbangun bertahun-tahun dan merugikan semua pihak, terutama petani kecil yang menjadi tulang punggung produksi sawit nasional.