
Sejak awal pekan ini, pemerintah membahas pungutan ekspor kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan turunannya di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Pembahasan pungutan ekspor ini kian mendesak setelah harga komoditas itu terus bergerak menuju level yang ditetapkan untuk dikenai tarif pungutan, yakni US$570 per ton.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 152/PMK.05/2018 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit pada Kementerian Keuangan, tarif pungutan tidak dikenakan alias nol jika harga CPO di bawah US$570 per ton.
Ketika harga bergerak di rentang US$570-US$619 per ton, tarif pungutan ditetapkan sebesar US$25 per ton, dan meningkat menjadi US$50 per ton ketika harga CPO bergerak di atas US$619 per ton.
Harga tersebut mengacu pada harga referensi yang didasarkan pada harga rata-rata tertimbang Cost Insurance Freight (CIF) CPO dari Rotterdam, bursa Malaysia, dan bursa Indonesia, yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan.
Persoalannya, harga CPO saat ini masih bergerak fluktuatif. Sepanjang Februari saja, menurut data Bloomberg, harga CPO bergerak di kisaran US$537-US$573 per ton, dengan rata-rata US$557 per ton.
Peraturan tarif pungutan yang terbaru ini sesungguhnya masih seumur jagung, karena baru diberlakukan sejak 4 Desember 2018. Penetapan aturan ini memang bertujuan baik, tetapi jika diimplementasikan di tengah kondisi harga CPO yang cenderung fluktuatif, harus dikaji dengan benar berbagai konsekuensi yang harus ditanggung.
Pasalnya, yang juga akan terkena dampak dari penetapan tarif pungutan ekspor ini adalah petani, karena akan berpengaruh pula pada harga tandan buah segar (TBS). Jika TBS turun, maka keuntungan petani pun ikut turun.
Jika ditarik mundur, pengenaan pungutan ekspor atas CPO sebetulnya telah diberlakukan sejak 2015, dengan tujuan untuk mendorong pengembangan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.
Kebijakan ini merupakan amanat dari PP No. 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan Perpres No. 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Kala itu, pungutan ekspor untuk CPO ditetapkan sebesar US$50 per ton dan US$30 per ton untuk produk turunan CPO.
Namun, melihat harga sawit yang terus merosot, kebijakan tersebut akhirnya disesuaikan.
Secara umum, pasar sawit memang tengah dalam kondisi tertekan. Fluktuasi harga komoditas penghasil devisa terbesar di Tanah Air ini masih terus berlanjut. Di sisi lain, produksi di dalam negeri melimpah.
Tantangan lain, berbagai tekanan negatif terhadap keberadaan industri tersebut juga masih mengintai.
Produksi sawit, menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki), pada sepanjang tahun lalu sekitar 46 juta ton, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai sekitar 41 juta ton.
Khusus untuk ekspor CPO dan produk turunannya, Gapki mencatat pengapalannya mencapai 32,18 juta ton, atau naik 8% dibandingkan dehgan tahun sebelumnya.
Ini salah satu kabar yang menjadi angin segar bagi persawitan Indonesia, sebab di tengah berbagai tudingan dan kampanye negatif, ekspor CPO dan produk turunannya masih mencatatkan kenaikan, meski tidak signifikan.
Bahkan, peningkatan terbesar justru terjadi pada biodiesel yang naik delapan kali lipat menjadi 1,56 juta ton pada 2018. Padahal, biodiesel kerap mendapatkan tuduhan dari negara Uni Eropa.
Soal harga, kondisi saat ini juga tidak menguntungkan, sehingga tidak berhasil mendongkrak harga CPO di pasar internasional karena adanya berbagai faktor, mulai dari perang dagang antara China dan Amerika Serikat, melimpahnya stok minyak nabati dunia, hingga penurunan daya beli di sejumlah negara tujuan ekspor.
Untungnya, dalam kondisi ini, penyerapan CPO dalam negeri cukup melimpah, sejalan dengan program mandatori biodiesel B20. Pada 2018, serapan CPO dari program tersebut mencapai 3,8 juta ton. Untuk menjaga serapan terhadap komoditas tersebut, konsistensi dalam program B20 sangat diperlukan.
Melihat gambaran di atas, bisa dikatakan masih akan ada banyak tantangan yang membelenggu komoditas tersebut, tidak saja di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri.
Kerja keras semua pihak dibutuhkan untuk menjaga agar komoditas ini tetap berjaya. Masing-masing pihak, baik pemerintah, swasta, dan stakeholder terkait perlu merumuskan upaya pembenahan komoditas tersebut dari hulu hingga hilir.
Pertemuan negara-negara produsen kelapa sawit (Council of palm oil Producing Countries/CPOPC) pada pekan ini harus menjadi momentum untuk membenahi problem yang dihadapi CPO, terutama dalam mempertahankan daya tawar komoditas tersebut di tengah tantangan pasar global.
Sumber: Bisnis Indonesia