Kalangan pelaku industri meminta pemerintah segera menetapkan nomenklatur (penamaan) dan standar bahan bakar nabati. Ketua Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia Sahat Sinaga mengatakan, usulan itu dilatarbelakangi perbedaan antara FAME (Oksigenate, kini secara populer disebut Biodiesel dengan inisial Bxx) dengan Biohidrokarbon (Drop-in) dalam kelompok bahan bakar nabati.
Penamaan dan penetapan standar tersebut, menurut dia, agar pelaku industri, masyarakat, dan pemerintah punya persepsi sama terhadap program penggunaan dan pengembangan energi terbarukan yang berasal dari bahan baku nabati secara keseluruhan disebut biofuel. “Saat ini, banyak pelaku industri yang salah persepsi karena para investor berbondong-bondong mau menanamkan investasi di sektor industri FAME (RED-Fatty Acid Methyl Ester atau dikenal biodiesel,” katanya di Jakarta, Minggu (15/3).
Besarnya minat investor ke arah biodiesel, tambahnya, karena ada rencana peningkatan konsumsi biodiesel di dalam negeri dari B30 menjadi B40. Bahkan ditargetkan menjadi B100.
Padahal, FAME yang dicampurkan ke dalam solar memiliki keterbatasan dari standar volume di mana FAME dengan kualitas yang sekarang ini maksimal pencampurannya sampai 30 persen. Sahat Sinaga menuturkan, pelaku industri berpikir kebijakan B30 dan B50 ini berarti pemakaian FAME sebesar 30 persen ataupun 50 persen yang akan dicampurkan ke dalam solar.
Padahal, program kandungan FAME di atas B30 mesti melewati tahapan proses pencampuran tepat waktu, homogen, dan penyimpanannya tidak boleh terlalu lama. “Di sinilah perlunya pemerintah membuat penamaan serta definisi yang dimengerti oleh masyarakat secara luas dan jelas. Sekaligus ke arah mana pengembangan dan pemakaian biofuel di pasar domestik,” ucapnya.
Ketua Dewan Pengawas Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia Tatang Hernas So-erawidjaja berharap, pemangku kepentin- gan sebaiknya dapat memahami perbedaan antara FAME dengan biohidrokarbon. FAME atau yang dikenal sebagai biodiesel termasuk dalam kategori oksigenat yang dicampurkan dengan persentase terbatas mulai dari Bio sampai maksimal B30.
Berbeda dengan biohidrokarbon yang bersifat sebagai jembatan (drop-in), sehingga dapat dicampur dengan jumlah persentase berapa saja. “Makanya, saya usulkan pemerintah segera membuat nomenklatur dan standar bahan bakar nabati biohidrokarbon. Dengan begitu masyarakat awam dan dunia internasional dapat memahami kebijakan biofuel Indonesia,” ujarnya.
Saat ini, teknologi konversi minyak lemak nabati menjadi bahan bakar nabati biohidrokarbon sedang dikembangkan perguruan tinggi seperti ITB. Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (Aprobi) menyebutkan, perusahaan produsen biofuel menambah kapasitas produksi mereka hingga 3,6 juta kilo liter (KL) pada tahun ini untuk mendukung program mandatori B30.
Ketua Harian Aprobi Paulus Tajkrawan mengatakan selain untuk mendukung B3O, peningkatan kapasitas produksi dilakukan karena minat ekspor biodiesel yang masih tinggi, salah satunya ke China. Tahun ini ada beberapa perusahaan yang siap menambah kapasitas dan ada juga yang berniat membuat baru pabrik biodiesel.
“Ada yang selesai pertengahan tahun, kuartal ke-II dan ke-FV,” kata Paulus, belum lama ini. Dia menyebut, peningkatan kapasitas produksi juga diperlukan karena pemerintah meningkatkan mandatori campuran bahan bakar nabati dan solar tersebut dari B20 menjadi B30 pada tahun ini.
Aprobi mencatat kebutuhan biodiesel untuk penerapan B30 sebesar 9,6 juta KL. Sementara itu, kapasitas terpasang 19 perusahaan produsen biodiesel di Indonesia sekitar 12 juta KL per tahun.
“Kapasitas dalam negeri kita praktis sudah habis. Kapasitas yang ada hampir 12 juta KL, namun pada praktiknya, kapasitas produksi hanya 80 persen. Otomatis yang terpakai hanya 9,6 juta KL,” kata Paulus.
Selain itu, penambahan kapasitas produksi ini juga dapat meningkatkan ekspor biofuel Indonesia. Tiongkok masih menjadi pasar ekspor yang tinggi bagi perusahaan biofuel.
Aprobi mencatat ekspor biodiesel pada 2019 sebesar 1,3 juta KL atau turun sekitar 18 persen dari tahun 2018 yang mencapai 1,6 juta KL. Pasar ekspor tersebut, yakni Uni Eropa, Tiongkok, dan Hongkong.
“Tahun lalu, Tiongkok mendapat biodiesel dari Indonesia sebanyak 61.947 KL. Kemungkinan ini bisa meningkat untuk Tiongkok. Namun, ada faktor lain yaitu kapasitas dalam negeri kita yang sudah habis,” kata Paulus.
Ada pun investasi untuk penambahan kapasitas produksi biodiesel sebesar 3,6 juta KL ini diperkirakan mencapai Rp6 triliun. Pada 2021, kapasitas produksi biodiesel juga diperkirakan bertambah 3,6 juta KL sehingga diperkirakan kapasitas terpasang menjadi sekitar 19,2 juta KL.
Sumber: Indo Pos