Pemerintah mengaku tengah mempertimbangkan keinginan pelaku usaha kelapa sawit untuk merevisi kebijakan pungutan ekspor kelapa sawit mentah atau Crude palm oil (CPO) dan turunannyaya. Revisi ini dilakukan agar harga CPO dan turunnya dari Indonesia bisa kompetitif lagi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, kajian pungutan ekspor harus dilakukan secara hati-hati. Pasalnya, Indonesia memiliki andil besar dalam menentukan harga CPO global.
Pasalnya, Indonesia adalah produsen sawit terbesar di dunia. “Kita itu price setter, bukan yang terima harga begitu saja. Kita bisa mempengaruhi harga. Karena itu, kita harus berhitung benar. Jangan sampai kita turunkan sesuatu harganya malah ikut turun,” ujarnya, di sela-sela Indonessian palm oil Conference and 2019 Price Outlook di Nusa Dua, Bali, Kamis, (1/11).
Meski begitu, ia bilang pemerintah tengah mengkaji penurunan tarif pengutan ekspor CPO. Lantaran itu pula, Darmin masih enggan menjelaskan lebih detail tarif pungutan ekspor yang ideal.
Institusinya masih membutuhkan waktu untuk mengkaji dua bulan sampai tiga bulan ke depan. “Kami belum mau mengatakan apa yang mau kami lakukan, tapi kami lakukan pengkajian mendalam,” imbuhnya.
Yang jelas, adanya bea keluar pada 2012 dan pungutan ekspor yang dilakukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit(BPDPKS) sejak tahun 2015, ekspor produk hilir kelapa sawit terus meningkat. Tarif pungutan ekspor yang berlaku saat ini US$ 50 per ton.
Harga sawit turun Wakil Ketua Umum III Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan, industri akan mengikuti keputusan pemerintah jika memang pungutan ekspor akan diubah. “Keputusan terakhir di tangan pemerintah. Hasil kajiannya kelak seperti apa, kami ikut saja,” ujar Togar kepada KONTAN.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyebut, kebijakan merevisi pungutan ekspor bisa menjadi langkah positif langkah pemerintah. Jika putusan ini dilakukan kelak, ini artinya pemerintah mendengar pelaku usaha terkait perkembangan yang ada di pasar.
Meski begitu, Sahat meminta supaya pemerintah berhati-hati menetapkan penurunan ekspor ini. Bila keputusan yang diambil salah, maka bisa menimbulkan efek negatif pada Indonesia.
Menurutnya, tujuan utama penurunan pungutan ekspor ini adalah untuk meningkatkan ekspor produk hilir sawit. Oleh karena itu, menurutnya, produk yang terbaik untuk diekspor adalah refined, bleached, and deodorized (RBD) , palm olein dalam bulk serta dalam kemasan.
Masalahnya, kata dia, industri kita terbentur daya saing. “Kita tak mampu bersaing dengan Malaysia karena pasar yang terbuka Afrika Timur dan Timur Tengah, kita tidak bisa compete (berkompetisi) dengan pemain di sana karena levy kita US$ 30 dan US$ 20 per ton,” ujar Sahat.
Usulan penururunan tarif pengutan ini diusulan lantaran harga CPO di pasar global terus turun. Kondisi ini menekan ekspor CPO asal Indonesia karena tidak kompetitif lagi di pasar global dibandingkan harga minyak nabati lainnya. Menjadi tak kompetitif karena ada pungutan dan pajak. Saat ini harga CPO sebesar US$ 485 per ton di akhir Oktober. Padahal, di awal tahun 2018, harga CPO mencapai US$ 636 per ton.
Sumber: Harian Kontan