Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menegaskan bahwa kondisi ketenagakerjaan di sektor kelapa sawit Tanah Air tidak memasuki status krisis, meski pengakuan sejumlah buruh masih menunjukkan adanya persoalan signifikan.
Perbedaan Perlakuan, Bukan Krisis
Immanuel Manurung, Pengurus Bidang Ketenagakerjaan Gapki, menyatakan bahwa meski tantangan di lapangan tetap ada—terutama di kebun sawit seluas 16 juta hektare, di mana 40% lahan dimiliki masyarakat—situasi saat ini belum bisa dikategorikan sebagai krisis. Dari sekitar 2.000 perusahaan sawit yang beroperasi, Gapki baru menaungi 747 perusahaan sebagai anggota resmi. Untuk itu, dorongan perbaikan pekerja difokuskan pada perusahaan anggota, sementara penegakan regulasi menjadi ranah pemerintah.
Panduan Perbaikan Standar Ketenagakerjaan
Sebagai langkah konkret, Gapki telah menerbitkan tiga panduan praktis yang disosialisasikan ke seluruh cabang, bertujuan memperbaiki standar upah, keselamatan kerja, serta hak berserikat buruh. Immanuel menegaskan bahwa perusahaan yang masih mempraktikkan “perlakuan layaknya budak” harus diremajakan atau diganti agar memprioritaskan hak pekerja secara manusiawi.
Rujukan Konstitusi: Hak atas Pekerjaan Layak
Indra MH, Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan, menegaskan bahwa pekerjaan layak bukan sekadar persoalan industri, melainkan hak konstitusional warga negara (Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 28D ayat 2 UUD 1945). Praktik upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP), diskriminasi gender, dan tindakan pemberangusan serikat buruh disebut telah melanggar prinsip keadilan yang dijamin konstitusi. Menurut Indra, keuntungan ekspor besar tidak boleh diiringi perlakuan tidak adil terhadap pekerja.
Sorotan Aliansi Serikat Buruh Sawit
Di sisi lain, Aliansi Serbusaka Kalimantan—yang menjadi bagian dari Koalisi Buruh Sawit (KBS)—mengungkapkan bahwa lebih dari 4 juta buruh sawit menghadapi upah rendah, minim jaminan keselamatan kerja, serta infrastruktur penunjang yang tidak memadai. Status pekerja yang sering berstatus outsourcing juga memperlemah perlindungan hak-hak dasar mereka. Rutqi, Koordinator Serbusaka, menyoroti kondisi penyemprotan bahan agrokimia berbahaya oleh pekerja perempuan tanpa perlindungan yang memadai, serta APD yang tidak sesuai standar nasional.
Seruan RUU Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit
Menanggapi keluhan tersebut, koalisi buruh menyerukan penyusunan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit (RUPBS) agar hak-hak pekerja terjamin secara hukum. Keberadaan Indonesia sebagai produsen sawit terbesar dunia dinilai idealnya harus diiringi standar kesejahteraan dan pekerjaan layak yang setara.
Dengan adanya dialog antara pengusaha, pemerintah, dan serikat buruh, diharapkan terwujud konsensus untuk memperbaiki kondisi ketenagakerjaan di sektor kelapa sawit sehingga berdampak positif bagi jutaan pekerja di lapangan.