JAKARTA – Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menuturkan, pasar Afrika Timur sangat potensial untuk menjadi target baru dalam meningkatkan ekspor minyak sawit dan produk turunannya. Di tengah banyaknya hambatan nontarif yang dilayangkan sejumlan negara mitra dagang, pemerintah dan pelaku usaha perlu men-jamah pasar baru.
“Kita shifting ke Afrika Timur karena kalau diperajari total populasinya 380 juta orang dari 18 negara,” kata Sahat dalam sebuah diskusi virtual, Senin (15/6).
Ia mengatakan, bagi pengusaha, untuk saat ini tidak dapat begitu banyak berbicara mengenai peluang ekspor minyak sawit. Hanya saja, di tengah situasi yang sulit saat ini, pengusaha hams jeli melihat pasar-pasar baru yang perlu dibangun.
Di kawasan Afrika Timur, Sahat mengatakan, terdapat tantangan karena negara-negaranya kebanyakan tidak memiliki tangki-tangki besar untuk penampungan minyak sawit. “Saya kira itu (tantangannya). Kita sering tidur dan tidak belajar tentang geographical advantages, saya kira itu yang paling penting dan sudah disampaikan ke Presiden Joko Widodo,” katanya.
Sahat pun memprediksi, seiring dimulainya peningkatan konsumsi minyak sawit dalam negeri lewat bahan bakar B-30, pada tahun ini diperkirakan tersisa 60 persen dari total produksi minyak sawit bakal diekspor. Sisanya, 40 persen akan menjadi konsumsi dalam negeri. Adapun proyeksi produksi minyak sawit tahun ini bisa mencapai 213 juta ton.
Kebijakan bea masuk antisubsidi atau countervailing duties (CVD) oleh UnfcEropa terhadap produk biodiesel Indonesia mulai memberikan dampak buruk. Ekspor biodiesel\’sepanjang kuartal 1 2020 turun 99 persen terhadap periode yang.sama 2019.
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga mengatakan, produk biodiesel Indonesia ke Uni Eropa dikenakan bea masuk antisubsidi sebesar 8-18 persen yang berlaku mulai 2019 lalu.
Pada kuartal I 2019, tercatat ekspor biodiesel ke Uni Eropa masih bisa mencapai 155,1 ribu ton. Namun, sepanjang kuartal 12020 ekspor tercatat nol. “Sejak pengenaan CVD, ekspor biodiesel ke Uni Eropa menurun drastis,” kata Jerry.
Ia mengatakan, pemerintah telah menempuh langkah pembelaan melalui berbagai forum termasuk di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Menurut dia, tuduhan-tuduhan Uni Eropa selama ini kepada Indonesia tidak beralasan. Khususnya yang berkaitan dengan deforestasi lingkungan akibat budi daya perkebunan sawit. Jerry mengatakan, setelah ditelusuri, sikap Uni Eropa justru cenderung ingin memproteksi produk-produk minyak naba-tinya agar tidak tergerus oleh produk Indonesia.
“Selama ini, Uni Eropa selalu menggembar-gemborkan perdagangan bebas. Ini jadi kontradiktif dan kami sangat menyayangkan sikap ini,” katanya.
Kendati demikian, Jerry optimistis komoditas minyak sawit asal Indonesia tetap akan menjadi primadona dunia untuk minyak nabati. Sebab, dibandingkan dengan minyak lainnya, sawit sangat kompetitif termasuk dari segi harga.
Sepanjang Januari-April 2020, nilai ekspor minyak sawit telah mencapai 6,3.miliar dolar AS. Angka itu, naik dari periode Januari-April 2019 sebesar 5,9 miliar dolar AS.
Sumber: Republika