Peraturan Pemerintah Nomor 57/2016 atau PP Perlindungan Gambut yang mengatur penetapan tinggi muka air tanah (TMA) pada kisaran 0,6-0,8 m dalam penyusunannya tidak merujuk kepada aturan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/2009 dalam penetapan muka air tanah gambut.

“Tinggi muka air tanah 0,6-0,8 meter lebih aplikatif karena teruji melalui pengalaman dan penelitian perkebunan sawit selama puluhan tahun,” kata Kabid Prasarana, Sarana dan Perlindungan Perkebunan Disbun Provinsi Jambi Dr. Asnelly Ridha Daulay dalam Fokus Group Discussion (FGD) di Jambi, Senin (18/12), bertemakan “Rekonsiliasi Pemahaman dan Strategi untuk Review dan Implementasi PP 57/2016 jo.PP 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut

Diskusi ini menghadirkan pembicara antara lakn Ketua MAKSI, Dr. Darmono Taniwiryono Msc, Agroforestry pada lahan gambut Dr.Sunarti dan Wakil Rektor Universitas Jambi Zulkifli Alamsyah sebagai narasumber.

Menurut Asnelly, ketinggian muka air tanah di kisaran 0,6-0,8 m lebih bagus dan mampu mendorong produktivitas sawit. Masalahnya, tiba-tiba muncul aturan ketinggian muka air 0,4 m tanpa disertai kajian ilmiah. “Apalagi keputusan itu tanpa keterlibatan Kementerian Pertanian.Akibatnya, regulasi tersebut sulit tersosialisasi dengan baik,” kata dia.

Darmono Taniwiryono menyarankan PP 57/2016 seharusnya melalui kajian ilmiah tanpa menyamaratakan tinggi muka air 0,4 m untuk semua jenis tanaman. “Tinggi muka air 0,4 m bisa diterapkan untuk tanaman semusim karena perakarannya pendek. Sementara itu perkebunan kelapa sawit idealnya muka air tanah antara 0,6-0,8 m,” kata dia.

Menurut dia, lahan kelapa sawit saat ini sudah sustainable. Saat ini 1 ha lahan sawit menghasilkan 10 ton minyak sawit/CPO.

“Kalau tidak ada tanaman sawit, mau berapa luas lahan yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dan energi terbarukan seperti biofuel,” kata Darmono.

Darmono meminta pemerintah harus lugas dalam pemanfaatan gambut. Gambut-gambut yang masih baik memang harus dikonversi. Namun demikian gambut yang sudah rusak sebaiknya dimanfaatkan untuk budidaya.

Sunarti mengatakan, evaluasi PP perlu dilakukan karena kebijakan pemerintah menggunakan peta Kawasan Hidrologis Gambut (HHG) yang masih mengacu pada peta skala 1:250.000.

“Peta skala 1:250.000 tidak bisa dijadikan dasar justifikasi pemetaan luas lahan gambut yang sesungguhnya. Perlu peta yang lebih akurat paling tidak 1:50.000,” ujarnya.

Wakil Rektor Universitas Jambi Zulkifli mengatakan revisi PP 57/2016 mendesak dilakukan karena saat ini perekonomian Jambi sangat dipengaruhi oleh pergerakan harga tandan buah segar (TBS). Peran masyarakat swadaya perkebunan sawit serta keberadaan sekitar 15 industri sawit sangat mempengaruhi perekonomian Jambi.

 

Sumber: Sawitindonesia.com