DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) meminta persoalan legalitas lahan petani (Pekebun) dapat segera diselesaikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari implementasi Peraturan Presiden No 14 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Indonesia atau Perpres ISPO. Pasalnya, petani diwajibkan mengikuti sertifikasi ISPO dalam jangka waktu 5 tahun mendatang (tahun 2025).
“APKASINDO sebelumnya telah menyampaikan surat keberatan perihal draf Perpres ISPO sebelum ditandatangani Presiden. Dalam surat itu, kami menunjukkan dampak buruknya kepada petani sawit,” ujar Ketua Umum DPP APKASINDO, Gulat Manurung, saat berbincang-bincang dengan redaksi Sawit Indonesia.com via telepon
Sebelum Perpres ISPO ini diteken Presiden, dikatakan Gulat, petani sudah banyak berdiskusi, banyak pemahaman dan masukan dari Dewan Pembina, Dewan Pakar serta para Stakeholder Pemangku Kebijakan, bahwa sesungguhnya mewajibkan Petani untuk ISPO di Perpres justru sangat menguntungkan Petan. Dengan sendirinya permasalahan petani yang selama ini tidak kunjung terselesaikan akan menjadi target dalam 5 tahun ke depan, seperti misalnya legalitas Kebun Petani yang masih terjebak dalam kawasan hutan, tataniaga TBS dan STDB, jadi Perpres ISPO ini sepaket dengan penyelesaian permasalahan Petani.
“Untuk itu, dengan sendirinya aturan ini mewajibkan kementerian terkait seperti Kemenko Perekonomian, Kementerian Pertanian, Kementerian ATR, Kementerian LHK serta Dirjen terkait untuk menyelesaikan masalah petani khususnya lahan sawit Petani di dalam kawasan hutan. Penyelesaian ini penting sebagai syarat utama sertifikasi ISPO,” lanjut Gulat yang juga Auditor ISPO ini.
Seperti diketahui, legalitas lahan masih menjadi “PR lama” tak kunjung tersolusikan bagi semua Pemangku Kebijakan yang selama ini menjadi kendala utama yang dihadapi Pekebun. Oleh karena itu, sebagai Pembantu Presiden, Kementerian dan Dirjen terkait sebaiknya dapat menyelesaikan serta mencari solusinya sampai 5 tahun mendatang .
“Kami dari APKASINDO dan Dewan Pembina telah sepakat dan akan membentuk Tim Terpadu Mengawal Solusi penyelesaian permasalahan Petani untuk bisa mendapatkan sertifikasi ISPO. Dan akan memonitor kemajuan penyelesaian masalah Petani per 6 bulan untuk di ISPO kan tahun 2025,” tegasnya.
“Persoalan legalitas ini harus diselesaikan sebagai konsekuensi dari Perpres ISPO ini, dalam 5 tahun ke depan. Maka, semua masalah Petani untuk ISPO harus clear and clean sebelum waktunya tiba Wajib bagi Petani yaitu tahun 2025,” tambahnya.
Tata urutan utama persoalan petani itu adalah Legalitas Kebun Sawit yang masih di klaim terjebak dalam kawasan hutan termasuk tumpang tindih dengan HGU/HPH korporasi.
“Dalam Inpres 8 Tahun 2018 dan diperkuat lagi melalui Inpres No 6 Tahun 2019 tentang RAN (Rencana Aksi Nasional) Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan sudah sangat lengkap tentang tataurutan penyelesaian persoalan dan hambatan menuju sawit berkelanjutan, jadi lintas Kementerian dan Dirjen terkait tinggal paduserasi lagi supaya Petani Sawit bisa mendapat sertifikasi ISPO,” jelasnya.
Gulat menyatakan apabila paduserasi antar kementerian dan Dirjen terkait gagal dilakukan, maka petani akan kesulitan dan mustahil bisa mengajukan sertifikasi ISPO.
Selain legalitas lahan, pendanaan juga menjadi kendala bagi petani untuk mendapat sertifikasi ISPO. Namun, bagi petani lebih penting legalitas kepemilikan lahan pekebun (Petani). Pekebun dengan sendirinya akan mengupayakan dana sertifikasi jika permasalahan legalitas lahan clear and clean, misalnya dengan bermitra dengan PKS, Korporasi atau dengan bekerjasama dengan Perbankan.
“Jadi penyediaan dana baik melalui dana APBN/APBD tidak akan membantu banyak terhadap pekebun untuk mengikuti sertifikasi ISPO karena roh persoalannya pada legalitas lahan,” pungkas Gulat.
Sumber: Sawitindonesia.com