JAKARTA – Indonesia masih terus bersaing dengan Malaysia untuk urusan pasar ekspor komoditas minyak sawit di tengahnya minimnya perjanjian bebas yang dimiliki RI.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengungkapkan Indonesia dan Malaysia memang bersaing dalam urusan merebut pasar ekspor minyak sawit. Namun, Negeri Jiran beruntung karena telah memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan sejumlah negara.

Contohnya, pasar ekspor minyak sawit ke Turki. Menurutnya, Malaysia diuntungkan menikmati tarif masuk yang lebih rendah karena telah memiliki perjanjian perdagangan bebas.

“Kalau sudah kondisi seperti itu kita tidak bisa bersaing karena tarif masuknya berbeda,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Kamis (28/9).

Namun, menurut Fadhil, di negara tujuan yang keduanya belum memiliki perjanjian perdagangan bebas, dapat terjadi persaingan yang lebih setara. Strategi yang digunakan oleh para pelaku usaha yakni dengan menjaga kualitas produk, pelayanan hingga mengembangkan jaringan dengan pengusaha setempat. Di sisi lain, dia meminta pemerintah untuk menjaga pangsa pasar ekspor minyak sawit ke India. Apalagi, negara itu baru saja menaikkan tarif masuk impor komoditas tersebut menjadi 15%. “Harus dipercepat proses perundingan dengan India untuk menjaga pangsa pasar ekspor kita.”

Indonesia saat ini hanya memiliki dua perjanjian dagang yakni Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (U-EPA) yang diimplementasikan sejak 2008 serta Indonesia-Pakistan (PTA) yang mulai berlaku sejak 2013.

Padahal, negara tetangga seperti Malaysia misalnya, memiliki sejumlah perjanjian perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA), termasuk dengan Turki sejak 2015.

Kondisi itu berimbas kepada pasar komoditas minyak sawit Indonesia. Berdasarkan data Trade Map, ekspor Indonesia ke Turki anjlok pada rentang 2014-2016 dengan penurunan volume ekspor dari 201.384 ton pada 2014 menjadi 14.930 ton.

Ekspor sawit Indonesia ke Iran juga turun drastis dari 251.321 ton menjadi 51.097. Namun, kondisi sebaliknya justru terjadi terhadap kinerja produk minyak sawit Malaysia.

Sementara itu, ekspor produk minyak sawit Malaysia ke Turki naik dari 61.763 ton menjadi 498.058 ton pada 2016. Hal yang sama terjadi untuk ekspor ke Iran juga mengalami kenaikan dari 335.181 ton menjadi 336.900 ton.

Di sisi lain, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan telah meminta kepada India agar tidak memberlakukan diskriminasi tarif antara Indonesia dan Malaysia. Pihaknya juga telah meminta kepada India untuk meninjau ulang keputusan menaikkan tarif masuk bagi komoditas minyak sawit.

“Permintaan Indonesia agar jangan dibedakan [tarif masuk] dengan Malaysia karena mereka sudah FTA tetapi kita belum,” ujarnya.

SIKAP INDIA

Enggartiasto mengatakan telah mengadakan pertemuan dengan dua menteri terkait di India untuk membahas kenaikan tarif yahg mereka berlakukan. Namun, menurutnya sulit bagi Negeri Bolywood untuk menurunkan kembali tarif masuk.

Saat ini Indonesia memang belum memiliki perjanjian dagang bebas bilateral dengan India. Kedua negara masih membahas kemungkinan adanya preferential trade agreement.

Sementara itu, Mario C. Surung Gultom, Sekretaris Perusahaan PT Astra Agro Lestari Tbk., menuturkan kenaikan tarif impor CPO oleh pemerintah India pasti memberikan pengaruh terhadap ekspor minyak sawit secara nasional ke negara tersebut.

Saat ini, lanjutnya, India merupakan pasar terbesar ekspor minyak sawit nasional. Namun, lanjut Mario, India bukan satu-satunya pasar ekspor minyak sawit emiten berkode saham AALI ini.

“Kami mendengar bahwa pemerintah akan mengirimkan delegasi ke India pada September ini untuk menegosiasikan kenaikan tarif impor tersebut. Kami dari AALI berharap negosiasi pemerintah ke India tersebut sukses,” katanya kepada Bisnis.

Mario mengemukakan China, Filipina, dan negara-negara Timur Tengah merupakan pasar ekspor AALI yang masih potensial untuk dikembangkan.

(M. Nurhadi Pratomo/Ana Novian)

Sumber: Bisnis Indonesia