PT Pertamina (Persero) masih menunggu terbitnya lisensi pengembangan kilang hijau menggunakan minyak sawit mentah atau CPO di kompleks Kilang Plaju, Sumatra Selatan.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan pengerjaan kilang hijau [green refinery] yang menjadi bagian dari kerja sama Pertamina dan Eni SpA belum masuk tahap pembangunan fisik. Menurutnya, kedua pihak masih membahas berbagai persyaratan yang dibutuhkan agar proyek ini bisa bergulir.
“Ada beberapa persyaratan dari sisi teknologi, termasuk sertifikasi dari [penggunaan] minyak sawit. Ini masih sedang berlangsung pembicaraan teknologi dan persyaratan lainnya,” katanya, baru-baru ini.
Arcandra mengatakan syarat lisensi penggunaan CPO sebagai bahan baku juga diterapkan di sektor lain. Adapun, CPO yang dipasok harus memiliki International Sustainability and Carbon Certification (ISCC).
Bersama dengan Eni, Pertamina telah menandatangani kerja sama penjajakan bisnis hilir minyak mencakup potensi mengembangkan kilang hijau dan peluang perdagangan minyak dan produk lainnya pada September 2018.
Penjajakan kerja sama bisnis hilir migas tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan kesepakatan pengembangan green refinery, yaitu head of joint venture agreement untuk pengembangan kilang hijau di Plaju, serta term sheet CPO processing di Italia.
Rencana pengembangan kilang hijau atau green refinery hasil kerja sama dengan Eni ini rencananya menggunakan teknologi hydwtreating refinery, sama dengan yang berhasil dibangun Eni di Porto Maghera, Italia.
Nantinya, solar yang dihasilkan dari kilang ini berasal dari hidrogen murni, yakni hydrotreated vegetable oil (HV0), bukan methanol yang biasa digunakan untuk memproduksi biodiesel. Green diesel ini diklaim memiliki kandungan energi yang sangat tinggi.
Kilang hijau ini diharapkan mampu mengolah CPO sebanyak 20.000 barel per hari (bph) dan menghasilkan solar hijau [green diesel) sebanyak 17.800 bph. Perkiraan investasi skema pengembangan itu mencapai US$616 juta.
Beroperasinya kilang berbahan baku CPO oleh Pertamina juga berpotensi meningkatkan serapan minyak sawit mentah dalam negeri. Setidaknya, Pertamina berpotensi menyerap 1 juta ton CPO per tahun saat pengembangan proyek green refinery di Kilang Dumai dan Plaju bergulir.
Adapun, pengembangan pengolahan CPO menjadi bahan bakar nabati ditempuh Pertamina dengan cara coprocessing dan standalone. Co-Processing merupakan pencampuran regum CPO dengan stream kilang (diesel) untuk diolah secara bersama-sama di unit yang ada di kilang Pertamina.
Untuk green diesel, telah dilakukan ujicoba di Kilang Dumai pada 2015 dan 2019, sementara rencana pengembangan juga diarahkan di Kilang Cilacap dan Balongan. Adapun green avtur masih tahap kajian untuk diterapkan di Kilang Cilacap dan Balongan.
Sementara itu, pendekatan standalone merupakan penggunakan CPO 100% tanpa campuran dalam stream kilang yang diolah langsung di unit khusus. Pengolahannya merupakan hasil dari konversi unit kilang eksisting menjadi unit standalone biorefinery yang akan akan menghasilkan green diesel.
Sebelumnya, Direktur Pengolahan Pertamina Budi Santoso Syarif menjelaskan proyek kilang hijau tersebut akan fokus pada lima program di dua kilang Pertamina.
Untuk Kilang Dumai, akan dilakukan konversi total, konversi sebagian, dan membangun unit baru. Untuk Kilang Plaju, akan dilakukan konversi total dan juga pembangunan unit baru.
JARINGAN PIPA GAS
Pada perkembangan lain, PT Pertamina Gas (Pertagas) telah menyelesaikan pembebasan lahan jaringan pipa Gresik-Semarang.
Presiden Direktur Pertagas Wiko Migantoro mengatakan konstruksi proyek pipa gas dengan kapasitas 500 juta kaki kubik per hari (MMscfd) tersebut dapat lekas diselesaikan. Pipa dengan diameter 28 inci yang dibangun sejak 2015 tersebut dikerjakan dengan total nilai investasi senilai US$250 juta.
“Semoga akhir tahun [2019] selesai konstruksi,” katanya, Minggu (6/10).
Pengerjaan pipa sepanjang 267 kilometer (km) tersebut sebelumnya ditargetkan selesai pada pertengahan 2018.
Nantinya, pipa tersebut mengalirkan pasokan gas dari proyek lapangan Jambaran-Thing Biru (JTB) sebanyak 100 MMscfd. Namun, realisasinya harus menunggu beroperasinya proyek milik PT Pertamina EP Cepu (PEPC) ini pada 2021.
Dia mengungkapkan sembari menunggu beroperasinya JTB, Pertagas telah memperoleh alternatif sumber gas lain. “Sekarang sedang proses [alternatif pasokan gas],” ujarnya.
Selain itu, Pertagas juga telah memiliki pembeli gas. Hanya saja, Wiko masih enggan mengungkapkan siapa saja konsumen yang menyerap gas dari pipa Gresik-Semarang.
Sementara itu, Direktur Utama Pertamina EP Cepu Jamsaton Nababan mengamini bahwa penjualan produksi gas sebanyak 192 MMscfd akan dialirkan melalui pipa Gresik-Semarang.
Menurutnya, dengan cadangan gas JTB sebanyak 2,5 triliun kaki kubik (TCF), produksi JTB diharapkan dapat memberikan multiplier effect, khususnya untuk mengatasi defisit pasokan gas di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Hingga Juni 2019, engineering, procurement, and construction untuk gas processing facilities (EPC GPF) proyek JTB mencapai 26% atau lebih cepat 1% dari rencana sebesar 25%.
“Percepatan progress konstruksi ini merupakan bentuk komitmen PEPC untuk selalu progresif dalam rangka mengoptimalkan produksi cadangan migas nasional,” katanya.
Untuk mendukung target produksi onstream JTB pada 2021, PEPC akan melakukan pengeboran enam buah sumur secara bertahap, di antaranya empat sumur yang terletak di wellpad Jambaran East dan dua di wellpad Jambaran Central.
Tahapan pengeboran ditargetkan selesai pada kuartal 1/2021 untuk mendukung target onstream GPF pada kuartal 11/2021.
Sumber: Bisnis Indonesia