Pemerintah Indonesia baru-baru ini menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2025 yang mengubah PP No. 24 Tahun 2021 mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif di bidang kehutanan. Regulasi kontroversial ini menetapkan denda administratif sebesar Rp 25 juta per hektare per tahun untuk perkebunan kelapa sawit yang berada di kawasan hutan tanpa izin, menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan pelaku industri sawit nasional.
Ketentuan Denda yang Mencengangkan
Berdasarkan PP 45/2025, besaran denda administratif dihitung dengan rumus D = L x J x TD, dimana D adalah denda administratif, L merupakan luas pelanggaran dalam kawasan hutan (dalam hektare), J adalah jangka waktu pelanggaran, dan TD merupakan tarif denda yang ditetapkan sebesar Rp 25 juta.
Sebagai simulasi, jika seseorang menguasai 100 hektare perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan sejak tahun 2010, maka pada tahun 2025 denda yang harus dibayar mencapai Rp 25 miliar. Perhitungannya: 100 hektare x 10 tahun (2025-2010-5 tahun masa tidak produktif) x Rp 25 juta = Rp 25 miliar.
Dampak Mengancam bagi Petani Sawit
Yang paling mengkhawatirkan, 42 persen lahan sawit nasional dikuasai oleh petani sawit, sehingga regulasi ini akan berdampak langsung kepada 2,4 juta kepala keluarga petani sawit dan 16,5 juta pekerja sektor perkebunan sawit. Jika penguasaan lahan berlangsung selama 20 tahun, total denda bisa mencapai Rp 375 juta per hektare, jauh melampaui nilai pasar lahan sawit yang hanya berkisar Rp 50-100 juta per hektare.
Perkebunan sawit rakyat merupakan tulang punggung stabilitas sektor sawit nasional yang memberikan dampak positif luas bagi perekonomian daerah. Petani mendapatkan penghasilan dari penjualan tandan buah segar (TBS), mendorong usaha terkait seperti penyedia pupuk dan alat pertanian, serta meningkatkan investasi lokal.
Kritik dari Para Pakar
Dr. Sadino, pakar hukum kehutanan dari Universitas Al-Azhar Indonesia, menilai PP 45/2025 sebagai ancaman serius bagi keberlanjutan industri sawit nasional. Menurutnya, proses pembahasan PP ini minim uji publik dan tidak melibatkan pemangku kepentingan utama.
“Paradigma kebijakan bergeser dari pembinaan menjadi pembinasaan, dari penataan menuju pengambilalihan,” kata Sadino. Ia menegaskan bahwa angka denda tersebut tidak realistis dan dapat menyebabkan PHK massal, kredit macet, hingga penelantaran kebun sawit.
Prof. Dr. Budi Mulyanto, Guru Besar IPB dan Kepala Pusat Studi Kelapa Sawit IPB University, mengingatkan bahwa PP 45/2025 memperluas kewenangan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) dengan istilah menakutkan seperti penguasaan kembali, paksaan pemerintah, pemblokiran rekening, hingga pencegahan ke luar negeri.
Pergeseran Filosofi Hukum
Muhamad Zainal Arifin, Direktur Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (PUSTAKA ALAM), menyoroti pergeseran filosofi hukum yang mendasar. UU Cipta Kerja menekankan penyelesaian keterlanjuran lahan dengan denda administratif, bukan pidana. Namun PP 45/2025 justru memperkenalkan mekanisme “penguasaan kembali” dimana setelah denda dibayar, lahan tidak otomatis dilegalkan melainkan diambil alih negara.
Akar Permasalahan Kawasan Hutan
Menurut Prof. Dr. Sudarsono Soedomo dari IPB, permasalahan kawasan hutan berakar sejak 1967 dengan terbitnya UU No. 5 tentang Pokok-Pokok Kehutanan. Kesalahan dalam pengelolaan kawasan hutan di masa lalu tidak sepenuhnya disebabkan oleh pelaku sawit, tetapi juga akibat kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada bupati untuk menerbitkan izin sementara pemerintah pusat belum memiliki sistem peta yang terintegrasi.
Implikasi Ekonomi yang Luas
Industri kelapa sawit merupakan tulang punggung perekonomian nasional yang menyerap tenaga kerja lebih dari 18 juta orang, menjadi kontributor devisa utama, dan penopang ketahanan pangan serta energi. Implementasi PP 45/2025 berpotensi mengganggu iklim investasi dan menciptakan citra buruk bagi investasi di Indonesia.
Para pakar menekankan bahwa secara normatif, prinsip pengenaan denda seharusnya disesuaikan dengan tingkat pelanggaran dan keuntungan yang diperoleh, bukan angka tetap. UU Cipta Kerja menekankan denda berdasarkan persentase keuntungan dengan tujuan memperbaiki kepatuhan, bukan mematikan usaha.
Regulasi ini mencerminkan dilema antara upaya pemerintah menertibkan kawasan hutan dengan kebutuhan menjaga keberlanjutan industri sawit yang vital bagi perekonomian nasional. Diperlukan pendekatan yang lebih seimbang dan melibatkan semua pemangku kepentingan untuk menyelesaikan permasalahan kompleks ini tanpa mengorbankan jutaan petani sawit dan pekerja sektor perkebunan.