Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) meminta pemerintah menempatkan minyak kelapa sawit (CPO) dan turunannya sebagai prioritas dalam setiap rencana perjanjian bilateral. Mereka menyayangkan perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) yang diteken Senin lalu tak diprioritaskan untuk membuka pasar baru ekspor CPO.

Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mengatakan perjanjian dagang bilateral harus diperkuat untuk meningkatkan ekspor CPO. Sikap pemerintah, kata dia, harus tegas saat merundingkan rencana kerja sama. Joko mencontonkan pembahasan kerja sama ekonomi komprehensif antara

Indonesia dan Uni Eropa yang masih alot lantaran masalah minyak kelapa sawit. “Seharusnya sikap kita kepada Uni Eropa nopalm oilno CEPA,” kata Joko, kemarin.

Menurut Joko, pemerintah seharusnya juga mendorong Australia agar meningkatkan impor CPO. Terlebih lagi, negara tersebut bukan pendukung kampanye negatif kepala sawit, seperti halnya sejumlah negara Eropa dan Amerika. Selain untuk membuka pasar baru bagi produk CPO, peningkatan ekspor secara umum diperlukan di tengah defisit perdagangan Indonesia-Australia yang sepanjang tahun lalu mencapai US$ 8,57 miliar. “Saya pesimistis IA-CEPA dapat meningkatkan ekspor CPO,” kata dia, kemarin.

Dinegosiasikan sejak 2010, IA-CEPA akhirnya diteken Senin lalu. Secara umum, perjanjian ini berisi kesepakatan pembebasan bea masuk untuk sejumlah pos tarif perdagangan kedua negara, pembukaan akses pasar, peningkatan sumber daya manusia, hingga perlindungan investasi. Perjanjian ini masih memerlukan proses ratifikasi di kedua negara- di Indonesia pemerintah akan membahasnya bersama Dewan Perwakilan Rakyat.

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, Iman Pambagyo, mengatakan CPO tak menjadi prioritas dalam IA-CEPA lantaran komoditas tersebut tidak memiliki hambatan untuk masuk ke Australia. Selain itu, kata dia, kuota impor CPO Australia ke Indonesia tak banyak.

Meski begitu, Iman menegaskan, pemerintah memberikan kemudahan akses pasar di Australia melalui IA-CEPA. Sebab, negara tersebut berkomitmen memberlakukan pembebasan tarif bea masuk. “Tarifnya nol persen,” kata Iman melalui pesan pendek, kemarin. Kebijakan ini berlaku untuk semua pos tarif komoditas.

Ekonom dari PT Samuel Aset Manajemen Tbk, Lana Soelistianingsih, mengatakan Indonesia sangat membutuhkan pasar baru CPO untuk menggenjot ekspor. “Pasar sedang melambat,” kata dia, kemarin.

Industri CPO kini juga menghadapi penurunan harga akibat pelambatan permintaan yang dipicuoleh kebijakan sejumlah negara importir. Cina, misalnya, mulai mengalihkan bahan bakar nabati ke minyak kacang kedelai. Uni Eropa enggan menggunakan minyak kelapa sawit. Adapun India, importir terbesar CPO Indonesia, menaikkan tarif bea masuk menjadi 57 persen.

Menurut Lana, Australia semestinya bisa dioptimalkan menjadi pasar baru. Apalagi banyak produk turunan CPO yang bisa dimanfaatkan di Negeri Kanguru. “Jadi, kalau tidak ada persetujuan untuk CPO, menurut saya rugi sekali,” kata Lana. 

Sumber: Koran Tempo