Program hilirisasi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) nasional yang digulirkan sejak 2011 menuai hasil positif. Hal itu terlihat pada bertambahnya jumlah produk hilir yang dihasilkan, penambahan kapasitas, investasi, dan komposisi ekspor. Bahkan, kini Indonesia mengusasi produk CPO hilir dunia, mengalahkan Malaysia. Karena itu, program hilirisasi CPO perlu terus didorong untuk menghasilkan nilai tambah tinggi terhadap perekonomian nasional, meningkatkan devisa negara, menjaga nilai tukar rupiah, mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, mendongkrak penerimaan negara, menyerap produksi berlebih {over supply), menjaga harga, serta memperkuat ketahanan pangan dan energi nasional.

Jika pemerintah konsisten menerapkan kebijakan hilirisasi, pada 2020 Indonesia dipastikan mampu membangun industri hidrodeoksige-nasi atau dekarboksilasi dan perengkahan katalitik yang antara lain akan menghasilkan green diesel dan green gasoline.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyatakan, sejak program hilirisasi bergulir pada 2011, investasi mengalir deras ke sektor ini dengan nilai sekitar US$ 4 miliar. Alhasil, kapasitas produksi industri CPO hilir naik. Sebanyak 85% investasi industri hilir sawit adalah modal dalam negeri.

Dia mencatat, kapasitas penyulingan {refinery} CPO nasional naik dari 43 juta ton pada 2011 menjadi 55 juta ton pada 2017. Produk yang dihasilkan refinery nasional antara lain minyak goreng, margarin, dan shortening. Selanjutnya, kapasitas produksi oleokimia melompat dari 2,1 juta ton menjadi 4,3 juta ton per tahun.

Seiring dengan itu, Indonesia kini mampu memproduksi 145 jenis produk CPO hilir hingga level empat, naik tajam dari 2011 yang hanya 70-an. Jumlah itu di atas Malaysia yang hanya sekitar 110. Produk turunan yang dihasilkan industri CPO nasional antara lain super olein, margarin, gliseron murni, new vegetable oils, fatty acid methyl esters (FAME), dan new ester oils.

“Produk CPO hilir kita terdiri atas oleopangan, oleokimia, dan biofuel. Jadi, dilihat dari berbagai indikator, hilirisasi CPO berjalan sukses dan Indonesia menjadi raja produk CPO hilir dunia. Kita jelas lebih unggul dari Malaysia karena bisa menghasilkan pelumas dari CPO,” ujar dia di Jakarta, Jumat (7/12).

Komposisi ekspor CPO nasional, kata Sahat Sinaga, juga berubah tajam selama 2011-2017. Pada 2011, porsi ekspor CPO mencapai 42%, sedangkan hilir 55%. Namun, pada 2017, porsi ekspor CPO tinggal 22% dan 78% produk turunan.

Menurut dia, perkembangan industri CPO hilir juga tak lepas dari insentif yang diberikan pemerintah. Sektor ini mendapatkan insentif pembebasan pajak untuk jangka waktu tertentu (tax holiday). Contoh perusahaan yang mendapatkan insentif ini adalah PT Unilever Oleokimia Indonesia.

Pacu Hilirisasi

Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memacu program hilirisasi CPO guna mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional. Program peningkatan nilai tambah bahan baku dalam negeri tersebut telah menghasilkan kinerja gemilang. Ini terlihat pada indikator rasio ekspor produk hulu dan hilir yang semula 6040 pada 2010 bergeser menjadi 2278 pada 2017.

“Industri pengolahan sawit selama ini mampu berkontribusi signifikan bagi Indonesia karena sebagai produsen dan eksportir terbesar dunia,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto.

Kemenperin mencatat, komoditas kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya merupakan pemasok utama ekspor nasional senilai US$ 22,97 miliar pada 2017, tidak termasuk oleokimia dan biodiesel. Hasil ini membuat Indonesia menguasai 52% pasar ekspor minyak sawit di dunia.

“Ekspor produk berbasis kelapa sawit yang didominasi oleh produk hilir bernilai tambah tinggi ini menjadi salah satu penopang perolehan devisa negara dan berperan penting dalam menjaga penguatan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing,” papar Airlangga.

 

Sumber: Suara Pembaruan