Bisnis sawit membawa berkah bagi petani dan perekonomian lokal. Di Muara Bungo, berdiri Koperasi Unit Desa (KUD) dengan pendapatan Rp 8 miliar pada 2016. Kesuksesan ini tidak terlepas dari pertumbuhan pendapatan petani sawit di wilayah tersebut.
Berjarak 230 kilometer dari Kota Jambi, terdapat wilayah pemukiman transmigrasi bernama Kuamang Kuning, Kabupaten Bungo. Perkembangan wilayah ini sangat pesat karena dikelilingi perkebunan sawit yang mayoritas milik petani. Mereka adalah petani transmigran yang datang mulai era 1980-an. Dari Pulau Jawa, mereka pindah ke Kuamang Kuning; wilayah ini dijadikan area transmigrasi melalui program Perkebunan Inti Rakyat-Transmigrasi (PIR-TRANS).
Di Kuamang Kuning, berdiri Koperasi Unit Desa (KUD) Karya Mukti di unit 19 Desa Karya Harapan Mukti, Kecamatan Pelepat Ilir. Koperasi yang berdiri tahun 1986 ini beranggotakan penduduk Desa Karya Harapan Mukti. Pembentukan koperasi ini untuk memenuhi kebutuhan petani dan membantu penjualan hasil panen mereka.
Kepada sejumlah media, Riswanto Ketua KUD Karya Mukti menceritakan perkembangan koperasi dan area transmigran Kuamang Kuning. Kuamang Kuning terdapat 19 unit pemukiman – sekarang menjadi desa. Di setiap unit berdirilah Koperasi Unit Desa (KUD). Ada tiga kecamatan di Kuamang Kuning antara lain Kecamatan Pelepat Ilir dan Pelepat termasuk Kabupaten Bungo. Kecamatan lainnya adalah Tabir Ilir di Kabupaten Merangin.
Dalam Buku berjudul Belajar dari Bungo: Mengelola SDA di Era Desentralisasi (2008), dijelaskan bahwa berdasarkan data Bappeda dan BPS Bungo, program transmigrasi yang dimulai pada 1983 dengan jumlah penduduk 9.669 jiwa di Kuamang Kuning I sampai V. Hingga 1990, populasi penduduk bertambah menjadi 31.305 jiwa dan tersebar di Kuamang Kuning I-X, Kuamang Kuning XIV-XIX.
Riswanto menjelaskan bahwa desa Karya Harapan Mukti awalnya dihuni 466 kepala keluarga – peserta transmigran.Petani memperolah lahan seluas satu kavling atau 2 hektare. Terdiri dari ¼ hektare untuk rumah dan sisanya dikelola menjadi kebun.
Sebenarnya, kebun petani transmigran hanya diperboleh kan menanam tanaman pangan seperti padi, jagung, ubi, dan kedelai. “Tidak boleh tanaman keras seperti sawit dan karet,” ujarnya.
Tetapi, penghasilan berbudidaya tanaman palawija kurang menjanjikan. Pasalnya, masa panen harus menunggu sampai 8 bulan. Dalam setahun, kata Riswanto, petani hanya panen sekali. Sebagai contoh, waktu itu harga ubi masih Rp 10 per kilogram. Produksinya dalam sehektar hanya 6 ton atau 6.000 kilogram. Total penghasilan petani Rp 60.000 selama satu tahun.
“Pendapatan dari tanam ubi dan jagung kurang bagus. Makanya, banyak pula transmigran kembali ke Jawa. Atau menjual lahannya kepada petani lain,” kata Riswanto yang menjadi petani transmigran dari tahun 1986 .
Menurutnya, harga lahan tahun 1990-an masih terbilang murah antara Rp 300 ribu-Rp 400 ribu per kavling. Dana hasil penjualan dipakai petani untuk ongkos pulang ke Jawa.
Peralihan tanaman pangan menjadi sawit mulai berlangsung antara tahun 1992 sampai 1993. Konversi ini seiring dengan program PIR-TRANS yang diperkenalkan kepada penduduk desa. Lewat program ini barulah penduduk mengenal budidaya sawit. Mereka mendapatkan edukasi mengenai kelapa sawit dan skema avalis (penjamin) kredit perkebunan. Dalam program ini, PT Sari Aditya Loka (SAL) 2 berperan sebagai bapak angkat petani untuk pembangunan kebun, penjaminan kredit, dan pendampingan teknis.
“Kami sebenarnya belum kenal apa bentuk tanaman sawit. Waktu itu, baru kami tahu setelah ditunjukkan bibitnya,” kata Pria asal Ngawi ini.
Tidak hanya program PIR-TRANS, petani di wilayah ini juga terlibat sebagai peserta Kredit Koperasi Primer Agribisnis (KKPA). Mereka yang lunas pinjaman dari program PIR-TRANS. Selanjutnya mengikuti KKPA untuk menambah lahan sawitnya. “Program ini telah dimulai dari sekitar tahun 1997,” jelas Riswanto.
Riswanto menceritakan petani menjalin kemitraan dengan PT SAL 2 yang bertugas membangun kebun, penyediaan bibit, dan pupuk. Sementara itu, petani diwajibkan membayar kredit dan penjualan buah ke pabrik sawit. Dalam program ini , koperasi berfungsi dalam penjualan buah sawit petani. Selain itu, kegiatan perekonomian juga terangkat karena penghasilan bulanan yang diterima petani. Perkebunan sawit yang ditanam tahun 1992 baru bisa dipanen sekitar tahun 1996/1997.
Kala itu, kata Riswanto, petani dapat mengantongi pendapatan Rp 200 ribu sebulan. Uang sebesar ini diperoleh dari panen sebanyak 2 ton dikalikan harga buah sawit Rp 200 per kilogram.
Sumber: Sawitindonesia.com