
Indonesia menghadapi tantangan serius dalam akses pasar sawit ke Uni Eropa setelah Malaysia berhasil meraih pengakuan resmi untuk sertifikat Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO). Sementara itu, sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) masih belum mendapat pengakuan serupa, menciptakan kesenjangan kompetitif yang mengkhawatirkan.
Malaysia Raih Pengakuan Uni Eropa
Pada September 2025, Komisioner Uni Eropa untuk Lingkungan, Jessika Roswall, secara resmi mengakui MSPO sebagai standar keberlanjutan yang kredibel dengan sistem ketertelusuran digital berstandar tinggi. Pengakuan ini sangat penting karena akan membantu pelaku usaha Uni Eropa dalam memastikan kepatuhan terhadap European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang berlaku mulai Desember 2025.
MSPO berhasil mendapat pengakuan karena beberapa faktor kunci:
-
Sistem ketertelusuran digital yang kuat untuk transparansi rantai pasok penuh
-
Audit independen oleh lembaga sertifikasi pihak ketiga
-
Komitmen anti-deforestasi dengan batas waktu 31 Desember 2019, mendahului persyaratan EUDR
-
Integrasi penuh petani kecil dengan lebih dari setengah juta pekebun terlibat dalam agenda keberlanjutan
Tantangan Besar ISPO Indonesia
Berbeda dengan MSPO, ISPO menghadapi berbagai kelemahan fundamental yang membuatnya sulit diakui Uni Eropa:
Masalah Kredibilitas dan Independensi
ISPO dianggap belum setara dengan standar internasional karena dikelola pemerintah, sehingga independensinya diragukan. Hal ini berbeda dengan MSPO yang menggunakan audit independen pihak ketiga untuk menjamin kredibilitas.
Kurangnya Transparansi
Sistem pengawasan, sanksi, dan transparansi data publik ISPO masih tidak memadai menurut standar Uni Eropa. Mekanisme pengaduan juga tidak transparan, menciptakan keraguan dari perspektif internasional.
Perlindungan Aspek Sosial Lemah
ISPO memiliki mekanisme perlindungan yang minim untuk aspek sosial, termasuk:
-
Perlindungan hak masyarakat adat yang tidak memadai
-
Mekanisme penyelesaian konflik lahan yang lemah
-
Free, Prior and Informed Consent (FPIC) yang tidak berjalan dengan baik
-
Banyaknya konflik agraria yang belum terselesaikan
Dampak Regulasi EUDR
EUDR yang berlaku mulai Desember 2025 mewajibkan perusahaan memastikan produk mereka bebas deforestasi sejak akhir 2020. Regulasi ini mencakup sawit, kedelai, daging sapi, kayu, kakao, dan kopi, serta produk turunannya.
Indonesia, sebagai produsen sawit terbesar dunia, menghadapi dampak signifikan dari EUDR ini. Tantangan utama meliputi:
-
Persyaratan due diligence yang tidak jelas dan berpotensi diskriminatif
-
Beban administratif berlebihan terutama bagi petani kecil
-
Kesulitan akses geolokasi karena kebijakan Indonesia yang tidak mengizinkan berbagi data geolokasi secara penuh kepada pihak asing
Strategi Indonesia untuk Bersaing
Meskipun ISPO belum diakui, Indonesia masih memiliki peluang strategis untuk mengakses pasar Eropa:
Kepatuhan Langsung EUDR
Eksportir dapat melakukan kepatuhan langsung melalui:
-
Pemetaan spasial (polygon mapping) untuk dokumentasi lahan
-
Bukti legalitas lahan yang komprehensif
-
Dokumentasi bebas deforestasi yang dapat diverifikasi
Kombinasi Sertifikasi
ISPO dapat dikombinasikan dengan sertifikasi internasional lain seperti Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk meningkatkan kredibilitas. Studi perbandingan menunjukkan RSPO memiliki skor penilaian tertinggi (77 poin) dibandingkan ISPO (56 poin) dan MSPO (62 poin).
Peningkatan Sistem Digital
Pemerintah sedang membangun sistem ketertelusuran digital untuk registrasi petani kecil, yang dapat memperkuat posisi ISPO. Sistem ini penting untuk memenuhi persyaratan transparansi EUDR.
Rekomendasi Perbaikan
Untuk meningkatkan daya saing sawit Indonesia, diperlukan perbaikan menyeluruh dalam beberapa aspek:
Transparansi dan Audit Independen
-
Implementasi audit independen yang kredibel
-
Peningkatan transparansi data dan mekanisme pengawasan
-
Sistem sanksi yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan
Perlindungan Sosial
-
Penguatan perlindungan hak masyarakat adat
-
Mekanisme FPIC yang efektif
-
Sistem penyelesaian konflik lahan yang transparan
Integrasi Data Spasial
-
Pemetaan lahan petani kecil yang komprehensif
-
Sistem registrasi digital yang terintegrasi
-
Dukungan finansial dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP)
Diplomasi Perdagangan
Diplomasi dalam kerangka Indonesia-EU CEPA menjadi krusial, dengan pendekatan yang jujur sesuai kondisi lapangan.
Masa Depan Sawit Indonesia
Indonesia memiliki keunggulan sebagai pemilik skema sertifikasi sawit terbesar dunia dengan 5,68 juta hektare area tersertifikasi ISPO. Dengan lebih dari 1.000 organisasi perkebunan tersertifikasi dan produksi sekitar 40 juta ton per tahun (40% produksi global), Indonesia memiliki potensi besar untuk bersaing di pasar global.
Namun, tanpa perbaikan mendasar dalam aspek kredibilitas, transparansi, dan perlindungan sosial, Indonesia akan terus tertinggal dari Malaysia dalam mengakses pasar Uni Eropa yang semakin ketat dalam persyaratan keberlanjutan.
Kunci keberhasilan terletak pada komitmen untuk meningkatkan standar ISPO agar setara dengan persyaratan internasional, sambil memastikan petani kecil tidak tertinggal dalam proses transformasi menuju sawit berkelanjutan yang sesungguhnya.