BALIKPAPAN – Industri kelapa sawit saat ini menjadi satu di antara penopang perekonomian di Indonesia.

Sekretaris Jendral Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Pusat Kanya Lakshmi Sidarta menuturkan jika industri sawit menjadi penyumbang devisa non migas terbesar di Indonesia.

Nilai ekspor sawit di tahun 2017 mencapai 22,96 miliar dollar Amerika.

Penyerapan tenaga kerja pada industri sawit sebanyak 5,4 juta jiwa. Sedangkan pada industri pendukung sebanyak 6 juta jiwa.

“Ini menggambarkan industri sawit sebagai tempat bergantungnya 22 juta jiwa di Indonesia,” katanya saat menghadiri Borneo Forum II 2018 yang digelar Gapki Kaltim di Hotel Novotel, Balikpapan Kalimantan Timur, Kamis (26/4/2018). Kegiatan ini berlangsung selama dua hari.

Indonesia sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar dengan penguasaan 30 persen minyak nabati.

Sehingga industri sawit juga berkontribusi dalam pengurangan impor bahan bakar solar.

Dengan begitu defisit neraca perdagangan karena tingginya impor minyak fosil dapat ditekan.

 

“Jadi sawit menjadi penggerak ekonomi di daerah. Bahkan ada pemekaran kabupaten dimana sawit menjadi roda penggerak perekonomian,” kata Lakshmi.

Hal senada diungkapkan Direktur Pengamanan Objek Vital (Dir Pam Obvit) Kabarharkam Ahmad Lumumba.

Ia memaparkan jika perkebunan saat ini menjadi sektor paling besar penghasil devisa negara.

Bahkan dari segi perolehan devisa, sektor perkebunan saat ini sudah mengalahkan sektor Migas.

Karena itu Polri wajib memberikan pengamanan yang baik namun tanpa mengabaikan sektor-sektor yang lain.

Berkaca dari itu, perkebunan sawit dapat ditetapkan menjadi obyek vital nasional (Obvitnas) karena bersifat strategis bagi perekonomian nasional dan memenuhi hajat hidup masyarakat.

Sebagaimana Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004. Tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional

“Perkebunan menjadi sektor yang memberi devisa negara paling besar dibandingkan dengan sektor migas dan lainnya, maka Polri Berkewajiban melakukan pengamanan yang lebih baik lagi tanpa meninggalkan sektor yang lain,” katanya.

Direktur Eksekutif Paspi Tumkot Sipayung meyakini bahwa kebun sawit mampu jadi paru-paru dalam suatu ekosistem.

 

Selain hutan, kebun sawit juga mampu menyerap karbondioksida dan mengeluarkan oksigen.

Ia meyakini, Borneo akan menjadi sentra hilir industri sawit setelah Dumai. “Kalau tidak ada kebun sawit, saya yakin hutan lindung sudah habis,” ujarnya.

Topang Ekonomi Dunia
Anggota DPR RI Firman Soebagyo, menegaskan saat ini perkembangan industri sawit sudah di atas migas.

Sawit juga mendapat dampak positif dari sosial, karena menyerap hampir 6 juta tenaga kerja.

“Pelestarian budaya masyarakat yang mulai cerdas, sawit ini juga merupakan kebutuhan bahan baku, hampir di semua sektor industri. Sawit juga menjadi substitusi industri plywood,” ujarnya saat menjadi pemateri di Borneo Forum II 2018 di Balikpapan, Jumat (27/4/2018).

Ia menyebut, pada 2050 mendatang, dunia dihadapkan dua masalah besar.

Yaitu peningkatan jumlah penduduk yang diperkirakan 9,6 miliar jiwa. Diketahui jumlah penduduk dunia saat ini sekitar 7 miliar.

“Dengan banayak pertumbuhan penduduk tentu ada konsekuensi terhadap kebutuhan, energi dan pangan,” tuturnya.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, industri sawit diyakini mampu menopang perkonomian dunia.

“Teman-taman pengusaha kelapa sawit ini pahlawan karena bisa menyelematkan perut rakyat,” tanyanya.

 

Menurutnya, kerusakan hutan terbesar bukan dari perkebunan tapi dari tambang. “Penegakan hukum dan regulasi menjadi perhatian kita,” ungkapnya.

Untuk itu, ia berharap ada aturan yang memperkuat industri sawit yang dituangkan dalam regulasi.

“Kalau tidak ada regulasi yang jelas, teman-teman ini hanya akan jadi sejarah saja, pernah jadi pengekspor sawit terbesar,” tuturnya.

 

Ia mencontohkan beberapa penyumbang APBN yang saat ini lesu.

“Jangan seperti cengkeh yang tinggal sejarah, tembakau dan juga karet. Sementara sawit ini pejuang penopang APBN kita snilai Rp 300 triliun,” pungkasnya.

Sumber: Tribunnews.com